↻ Lama baca 2 menit ↬

SERTIFIKASI MODEL. INDONESIA BISA?

Inilah yang lebih menarik bagi saya. Dalam batas apa negara, di mana pun, bisa atau boleh mengatur penampilan seseorang? Jika masalahnya adalah “kesopanan berbusana” (bisa juga “kesopanan tidak berbusana”), maka perdebatannya bisa kita anggap lumrah — tapi tak berarti lancar.

Jika yang mempersoalkan kesopanan adalah (sebagian) masyarakatnya sendiri, itu pun wajar bahkan menurut saya boleh dan menarik. Saya lupa, entah di Time atau Newsweek, atau majalah berita lainnya, pernah diberitakan bahwa sebagian ibu di Amrik risih dengan gelombang low-cut atau low rise dan tanktop bertali spaghetti yang kelewat minim (dan tipis).

Saat itu, awal 2000-an, Britney Spears dengan gaya busana bitchy (asyik sih…) lagi menjulang. Sebagian ibu resah karena anak bawah umur pun ingin tampil sexy. Bayangkan, itu di sana…

Kini? Bermula dari Madrid, dan kemudian Milan, pemerintah melarang penampilan model kurus yang mengesankan anoreksia. Madrid mengikuti pemerintah Spanyol. Milan mencanangkannya dari pemda.

Mudah ditebak alasan moralnya adalah kesehatan untuk masyarakat. Sebagai etalase industri kecantikan, model dan pergelaran busana dirujuk oleh khalayak. Jika cantik dan sexy itu tampil sebagai bodi kurus berlebihan — hanya berisi kulit pembungkus tulang (dan kentut) — maka orang yang kurang percaya diri akan mengikutinya.

Bahwa anoreksia berbahaya, itu kekhawatiran lama. Bahwa para ibu dan tante mulai mengkhawatirkan putri dan keponakan yang bernafsu jadi langsing dengan diet yang salah, itu perbincangan tiada akhir.

Masalahnya ada pada standar industri kecantikan, yang mungkin saja diwarnai bahkan didominasi pria. Saya, sebagai pria, juga menikmatinya — minimal secara visual. ;)

Langsing itu baik, begitulah kredonya. Masalahnya pengertian langsing bisa bergeser, bergantung pada nilai-nilai. Orang Jawa mengartikan langsing (dan singset) sebagai tidak gemuk, tidak kurus, pokoknya ramping dan proporsional, njedot ngarep (dada) dan njedot mburi (pantat), sehingga ketika berkain dan berkebaya akan menghasilkan shape yang indah. Derita di balik korset dan torso, itu bukan masalah bagi orang lain (pria?). :D

Kemudian, dalam tafsir dan praktik, slim dan skinny di banyak belahan globe boleh dianggap sama. Tak mengherankan bila Marshall McLuhan menganggap Twiggy — yang pada masa saya bocah diidolakan mas-mas — sebagai foto rontgen. Saat itu cewek ceking dianggap modis. Tapi cewek yang agak berlimpah juga tetap disukai. :D Biasalah pria. Kalau bisa selalu ada opsi komplementer. :D

Kurus kering sebagai sebuah citra yang menakutkan baru saya petik ketika Kate Moss muncul pada awal 90-an. Saat itu setiap minggu saya memeriksa ratusan kiriman slides (belum zaman digital) orang cantik dari Paris, dan yang paling banyak — selain Putri Diana — adalah pergelaran busana.

Melihat Kate Moss yang pucat kerempeng saya bertanya kepada Mbak Rita, seorang penulis fashion: “Inikah yang disebut sexy dan indah?”

Buat saya lebih sexy Eva Herzigová yang menjadi duta WonderBra, salah satu merek pengampanye ransel depan penegak muatan. Tapi saat itu muatan Pamela Anderson, Brigitte Nielsen, dan apalagi Anna Nicole Smith kadang tampak aneh dan segala maaf hanya mengasyikkan buat lelucon para sebagian pria. Yah, seperti lelucon seksis wanita terhadap binaragawan, gitulah. :P

Sekarang, setelah negara — mungkin atas desakan masyarakat — melarang penampilan model kerempeng, saya justru heran. Jangan-jangan sebentar lagi iklan pun akan diatur.

Saya lebih setuju jika negara melakukan kampanye penyadaran tiada henti, bukan melalui tindakan yang — siapa tahu — bisa mengarah kepada kriminalisasi, sambil membiarkan masyarakat beraksi maupun berinteraksi, misalnya ada class action menggugat pemodelan kerempeng yang mencitrakan kurang makan dalam sebuah gelaran.

Dunia fashion (termasuk fotografinya) juga perlu disadarkan melalui edukasi. Tak ada yang salah dengan langsing maupun ramping sepanjang semuanya wajar dan sehat.

Atau kalangan fashion perlu memberlakukan sertifikasi dan sejenisnya dari kalangan medis seperti di dunia olahraga? Biarlah setiap kelompok mengatur dirinya sendiri melalui sanksi profesi. Cara Italia, misalkan tanpa campur tangan pemerintah, tampaknya bagus.

Tapi cara macam itu takkan efektif di negeri yang “semuanya bisa diatur” dengan bisik-bisik, koncoisme, dan uang.

NB: Tak usah pakai foto ya… Silakan cari sendiri. :D

Baca juga:
+ Kerempengannya Mpokb

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *