KADANG SAYA KEHILANGAN WARUNG.
Sebetulnya bukan urusan saya. Ketika sebuah warung tak buka lagi, saya tak perlu merasa dirugikan. Tentu dengan catatan: sepanjang masih ada warung lain.
Warung yang saya maksud bukan warung makan. Tapi toko atau kios kelontong kecil. Saya tak tahu penyebabnya, tapi kadang ada rasa sayang (Jawa: ngeman) dalam diri saya setiap kali mendapati sebuah warung tutup untuk selamanya.
Dari yang saya eman itu sebagian besar pemiliknya tak saya kenal. Bahkan lebih umum lagi, saya belum pernah membeli sesuatu di situ. Tapi rasanya saya kehilangan.
Perasaan ini tumbuh ketika saya berusia delapan tahun. Warung bercat biru, dengan poster Naspro, yang belum pernah saya datangi itu akhirnya tutup, berubah menjadi kamar mahasiswa pemondok.
Hampir setiap hari saya lewat di depannya. Sebuah warung di Jetis, dekat sawah, di Jalan Imam Bonjol, Salatiga. Saya kehilangan sesuatu yang tak penting, sesuatu yang berjarak, yang bukan urusan saya. Tampang keluarga pemilik warung itu pun tak saya hapal.
Sekarang, menjelang belokan ke kompleks saya, saya sering teringat warung yang pernah ada di situ. Saya pernah singgah, belasan tahun lalu, tapi tak ingat beli apa. Yang saya ingat, warung itu kusam, kotor berdebu, gelap, ditunggui kakek dan nenek. Salah satu jualannya adalah celengan tembikar. Warung itu juga jual es batu.
Ketika mendapati warung yang mulai sepi dagangan, dan sepi pembeli, saya juga merasa ngeman. Setelah masuk kompleks saya, di depan masjid ada warung milik orang Cina Pontianak. Sudah setahun ini dagangannya tak sebanyak dulu. Dari luar tampak rak kosong. Saya dulu sering ke sana, membeli rokok dan cemilan. Setelah ada Alfamart, pilihan utama saya ya ke toko swalayan itu.
Keluarga saya belum pernah buka warung. Memang sih, waktu kecil saya sering membayangkan alangkah nikmatnya jika ibu saya punya warung. Pasti permen dan uang jajan tinggal mengambil.
Karena itulah saya tak tahu persis perasaan pemiliknya ketika harus menghentikan kegiatan berwarungnya.
Bagi saya warung bukan hanya penyedia barang. Warung adalah pintu sosialisasi. Menanyakan alamat di sebuah lokasi, atau mencari pondokan dan kontrakan di sekitar, dan memperkenalkan diri sebagai warga baru di sebuah lingkungan, dimulai dari warung.
Warung juga merupakan pengukur kepercayaan. Tak ada kembalian kita boleh meninggalkan piutang. Atau kadang, karena tak ada uang receh untuk kembalian, si pemilik warung membolehkan kita mengutang.
Dulu, ketika kuliah, saya kadang mengikut teman yang mondok di rumah saya (akhirnya jadi saudara) untuk pulang kampung. Ke rumahnya yang berwarung di Desa Kuwageyan, Polanharjo, Klaten.
Ikut menunggui warung, dan sesekali ikut kulakan ke Delanggu, bagi saya adalah hiburan. Sebatas hiburan, karena saya tahu tak bakal kerasan menjalani hari sampai tua sebagai penjaga warung berpetromaks di seberang sawah yang tutup pukul tujuh.
Lantas apa urusan itu semua dengan rasa ngeman? Saya tak tahu.
Sering terbayang, bagaimana suramnya ekonomi keluarga pewarung setelah tokonya tutup. Tapi beberapa kasus membantah bayangan saya. Tak jarang sebuah warung buka sepanjang pendirinya masih hidup dan butuh kesibukan.
Ketika anak-anak besar dan lulus sekolah, mereka tak butuh buka warung. Tutup warung direlakan berlanjut menjadi warung tutup. Tapi tetap saja saya menyayangkannya. Bahkan kadang merasa kehilangan. Padahal itu bukan urusan saya — apalagi Anda.
© Foto: Dayinta Sekar Pinasthika
NB:
Terima kasih untuk para pengucap selamat ulang tahun. Terima kasih untuk sobat yang belum ingin melihat warung gombal ini tutup.