BUKU CETAKAN MASIH BERTAHAN. SAYANG MAHAL.
Apa bahasa Indonesianya “clitoris“? Ya tetap “clitoris” (dengan “c” di depan, bukan “k”). Bukan (maaf) “kelentit” maupun kata lain yang empat huruf itu. Husss… ini posting apa sih?
Apa boleh bikin, cara mengecek sebuah daftar kata yang mengaku lengkap — entah kamus, entah kumpulan istilah — adalah mencari kata yang dalam kehidupan sehari-hari pantang diteriakkan.
Saya mencari kata yang itu tadi dari sebuah pembahasan visual tentang anatomi, pada halaman organ genital wanita. Hasilnya ya konsistensi huruf “c” tadi. Di mana? Kamus Inggris-Indonesia yang bertajuk The Visual Dictionary with Definitions. Ini edisi gres, 2007.
Untunglah penjelasan lema yang disebut “terminologi” itu cukup mudah dipahami: “Jaringan erektil kecil di bagian depan vulva yang merupakan area erogen (mudah terangsang)” (hal. 170). Hmm… apa sih penyerapan mengindonesia yang tepat untuk kata sifat “erogenous“?
Baiklah anak-anak, sekarang kita pindah ke halaman transportasi. “Flyover“, itu jalan layang. Kalau “underpass“? Kamus ini, seperti umumnya koran, menerjemahkannya “terowongan” (edisi sebelumnya: “lalu lintas bawah”). Saya sih senang menyebutnya “jalan kolong” untuk selingan.
Bagaimana dengan simpang susun empat cabang seperti di dekat Polda Metro Jaya, Jakarta? Kamus ini sudah maju. Menerjemahkan “cloverleaf” sebagai “semanggi” (hal. 539). Pada edisi pertama (Kamus Visual Indonesia-Inggris, 2004), “cloverleaf” hanya menjadi “simpang susun”.
Cukup lengkap kamus ini. Tebalnya tetap 960 halaman (7 cm), mencakup 17 bab dengan 6.000 entri bergambar, punya sekitar 29.000 indeks, bedanya edisi yang sekarang dilengkapi 20.000 definisi. Edisi terbaru sudah memperbaiki tampilan tipografis: memakai huruf tebal untuk entri.
Dari kamus ini saya mendapatkan kata baru dalam busana wanita — artinya: belum pernah saya dengar, padahal mungkin sudah biasa bagi orang modiste (duh, istilah kuno). Apa? “Jahitan putri”, sebagai padanan “princess seaming” (hal. 366). Ada lagi “kerah telinga anjing” untuk “dog ear collar“. Dulu saya hanya tahu “dog ear” sebagai tanda posisi halaman gasal dan genap dalam desktop publishing, berupa ujung kertas terlipat.
Sayang, dalam pembahasan busana wanita tidak ada “lingerie” maupun “thong” — apalagi “thong model belah” (sudah sempit, eh masih menganga terkuak pula). Kata ibu saya, ketika kami dan anak-anak melintasi konter jeroan wanita, “Apanya yang ditutupi?” Anak-anak tertawa. Istri saya tersenyum.
Kabar bagus untuk tukangkoran dan Imponk adalah pembahasan tentang grafika. Mereka akan terbantu untuk menjelaskan kepada orang awam seperti saya. Misalnya anatomi buku terjilid (ada “raised band” atau tonjolan, hal. 426). Ada pula tentang tata letak koran (misalnya “deck“, hal. 471).
Cukuplah buku ini untuk kamus Inggris-Indonesia. Kalau Indonesia-Inggris berarti harus ada “klepon” dan “pak ogah”, lengkap dengan gambar vektornya. Betul, kamus yang diklaim cocok untuk rumah, sekolah maupun kantor ini bisa jadi rujukan ilustrator media cetak untuk menggambar dan bikin infografik yang bervektoria itu.
Tapi eitssss… nanti dulu. Sekarang ini zaman internet dan multmedia. Informasi gratis bertebaran, dan cakram ensiklopedia (bajakan) pun banyak. Apakah buku masih kita perlukan? Bagi saya: ya.
Buku tercetak tak perlu alat khusus untuk membacanya, selain kacamata bagi orang tertentu. Kelak ketika internet bisa gratis, demikian pula kembaran wikipedia versi cakram (apalagi kalau bisa disinkronisasi untuk updated info), dan alat pembacanya sangat murah, maka buku akan tersisih.
Sayang, harga buku ini kurang tidak ramah kantong. Itulah kekurangannya, padahal tim penerjemah — apalagi tim penyusun edisi asli — sudah jungkir balik. Andaikan ada edisi murahnya, dengan kertas seperti buku telepon — tentu mengorbankan kualitas cetak — mungkin akan lebih bagus. Atau menunggu “edisi asongan” di bus dan KRL?
Waduh! Kalau penerbitnya nombok lalu tekor, kasihan karyawannya dong! Saya beli buku ini pake nyicil dan setel tampang mengiba-iba, tapi tanpa cium tangan.