Rokok dan Mo-limo

▒ Lama baca < 1 menit

WASPADALAH WAHAI WANITA!

molimo mo-limo gaya jawa modern

Saat masih SMA, Krisman selalu masuk siang. Maka pagi sampai menjelang berangkat sekolah ia ditugasi ibunya menjaga warung, sedangkan sang ibu mengurusi dapur. Untuk mengupahi dirinya sendiri, Krisman selalu mengambil sebungkus Bentoel filter. Tanpa izin.

Akhirnya sang ibu tahu. Sejak itu setiap hari ia membekali anaknya uang untuk seliter bensin dan… sebungkus Bentoel filter.

Sampai hari ini, lelaki asal Wedi, Klaten, Jawa Tengah, itu masih merokok. Sempat berniat berhenti setelah dia melihat beberapa teman harus berhenti menjadi budak nikotin atas perintah dokter.

Memang, beberapa kawan Krisman mulai berhenti merokok. Mereka adalah lelaki usia 40+. Sebagian besar berhenti karena dokter memberikan bukti yang mengerikan, lengkap dengan foto rontgen, hasil pindaian komputer, dan laporan laboratorium.

Beberapa lainnya mulai membatasi isap-kepul asap karena mulai ditentang anak-anaknya. Ada yang sama sekali tak merokok di rumah karena anak-anaknya mengancam, “Kalo Papa masih merokok, aku juga merokok.” Terpaksalah Papa merokok hanya di kantor, itu pun terbatas di bilik perokokan.

Saya tak akan berpanjang-panjang soal bahaya — tepatnya: keburukan dan kejahatan — merokok. Anda, terutama yang antirokok, punya sejumlah alasan. Sedangkan Anda yang pro punya segudang dalih.

Krisman juga punya sejumlah dalih yang menurutnya sahih. Tapi kenapa ibunya dulu bukannya melarang dia merokok, malah secara resmi menjatahkan sebungkus sigaret saban hari?

Tadi sore Krisman bercerita. Sarjana hukum itu tahu alasan ibunya belum lama, artinya jauh hari setelah dia meninggalkan masa remajanya.

Si ibu memberinya rokok karena dia tak ingin anaknya jadi perokok sekaligus maling. Cukup jadi perokok saja. Apa yang dilakukannya dulu sebagai “pengupahan diri” itu di mata ibunya adalah pencurian.

Saya teringat “mo-limo” dalam masyarakat Jawa: main (judi), mabuk, madon (main perempuan), madat (mengisap candu), maling (mencuri).

Perihal “mo“, itu diambil dari aksara Jawa (hanacaraka) untuk “ma” (huruf “m”), yang dilafalkan sebagai “mo“. Sedangkan “limo” adalah pelafalan untuk “lima”. Orang Tegal dan Banyumas (mungkin) tetap melafalkannya “ma-lima“. Yang pasti, hanya lelaki kacau yang melakukan kelima “mo” itu sekaligus.

Padahal ada juga lho “mo-limolas” atau “ma-lima-belas”. Apa itu? “Madhêp mantêp mangan mèlu maratuwa. Maratuwa macêm-macêm mantu minggat. Maratuwa mati, mantu mèlu maris.”

Sangat kurang ajar! Kalau diterjemahkan, “mo-15” berarti “Mantap stabil, makan numpang mertua. Mertua macam-macam, menantu minggat. Mertua meninggal, menantu dapat warisan.”

Kalau ditambah “mo-limo“, “mo-15” tadi menjadi “mo-20“. Celakalah wanita yang menjadi istrinya lelaki “top-twenty” itu. Benalu akan berjaya.

Tinggalkan Balasan