TAK ADA ULAR, TANGGA PUN DIEMBAT.
Saya tak tahu mengapa sebagian permainan ular dan tangga menampilkan keanehan. Pemain terperosok ke bawah bukan karena tertelan ular, melainkan tersedot oleh ekor.
Betooolll, ularnya menghadap ke bawah. Akan lebih logis kalau setiap gacuk atau bidak yang melewati kotak bermulut ular justru akan terangkat naik.
Adapun untuk tangga, sudah jelas hukumnya. Setiap melewati kotak berkaki tangga, bidak akan memanjat. Tidak ada cerita ketika bidak sampai di kotak berkepala tangga lantas segera melorot.
Mindset? Rule of the game? Kesepakatan? Konvensi? Tradisi? Embuh ra weruh pokoknya dari dulu gitu, jadi ya ngikut aja? Terserah. Itu soal pilihan. Suka-suka ndoro sinyo, kacung tak kuasa.
Baiklah, kita bicara tentang tangga saja. Dua tiang tegak yang dihubungkan oleh palang (anak tangga) itu berfungsi untuk memanjat. Begitulah yang ada di kepala kita.
Ini soal persepsi. Kita jarang membayangkan tangga dipakai untuk turun.
Tak soal. Toh dalam praktik sebagian besar orang (sori, tanpa statistik) juga menggunakan tangga untuk turun. Kecil angkanya itu (berapa?) naik tangga cuma lantaran “tren sesaat”, lantas bagaimana nanti turunnya baru diputuskan setelah urusan di atas beres.
Uh, kok berbelit. Apa sih masalahnya? Iya, saya sering ngelantur. Padahal saya cuma mau cerita, di beberapa perumahan itu terjadi penggelapan tangga.
Kemarin Pak RT saya mengingatkan agar warga berhati-hati saat meminjamkan tangga. Sudah ada beberapa kasus. Untung tetangga sebelah rumah saya kemarin waspada ketika didatangi dua orang tak dikenal untuk meminjam tangga.
Itu lho, tangga A (ladder, orang Jawa bilang “bè’i” — bukan bei dalam ndoro bei).
Tangga yang berbahan alumunium itu mahal. Di Carrefour, tangga lipat model M, yang kalau direntang bisa sepanjang lima meter lebih, harganya Rp 970.000-an. Hampir sejuta rupiah. Di Ace Hardware lebih mahal.
Modus penipuan begini: dua orang datang, kadang bermotor, mengaku disuruh Pak RT, atau Pak Aktivis RT, untuk meminjam tangga buat pasang spanduk, atau betulin lampu, atau pekerjaan lain.
Tuan atau nyonya rumah, apalagi pembantu, ada saja yang percaya dengan kata “pinjam sebentar”. Akhirnya tangga tak pulang. Entah tertelan ular mana.
Sebagai barang bekas, harga tangga yang raib sudah melorot. Tapi kesal dan sebal kehilangan, itu jelas mahal. Apalagi kalau harus beli baru yang harganya melebihi sepeda gunung kelas abal-abal.
Kasus tangga hilang ini pertama kali saya dengar di pecinan Pluit dan Muarakarang. Ternyata ada di mana-mana. Bahkan tetangga saya sudah mengalami, sambil menunjuk Pak Ini dan Pak Itu yang juga senasib.
Kita bisa bilang, orang yang kehilangan itu kurang amal. Sebuah hiburan yang kadang malah mengesalkan.
Itu sama mengesalkannya dengan renungan saya: sungguh sebuah negeri yang menyedihkan, ketika bolam, tutup parit, dan tangga bisa diuangkan untuk makan.
Sebulan lalu tetangga saya kehilangan tutup bak sampah. Pencurinya adalah pemulung. Dia dikejar, ketemu setelah 150 meteran, tapi dengan enak bilang, “Ya udah, kalo nggak boleh ya Bapak ambil aja.”
Si pengejar tak terima, “Enak aja! Elu dong yang balikin. Yang ngambil kan elu!”