BAIK DAN BURUK, ORANGTUA PUN MASIH BELAJAR.
Akhirnya si bungsu Raras penasaran juga, “Ini mainnya gimana?” Day, si kakak, setelah balablabla, bilang, “Gini, Dik. Kamu tinggal pilih, mau jadi bandit atau orang baik. Kalo suka ama bandit bonusnya lebih gede. Tapi kalo mau jadi orang baik, ngebelain petani, dapet bonusnya susah.”
Uh, ajaran gombal mana ini? Kok realistik dan membumi banget sih?
Walah, ternyata dari game lawas Day, yaitu Battle Realms. Dia memang menyukai games lama macam itu, termasuk Shogun: Total War, terlebih setelah membaca Taiko. Saya tak telaten memainkannya, karena saya memang bukan gamer. Main Zuma pun selalu kalah skor dari istri saya.
Saya yang sedari tadi cuma mendengarkan sambil ngopi, akhirnya mendekati mereka. Saya tanya Day, dia suka peran yang mana. Ternyata dia ambil keduanya. Kadang pro terhadap marga Ular (bandit), lain waktu promarga Naga (orang baik).
Selebihnya saya lebih suka menanggap, bukan memberi pesan atau pengarahan. Biarlah kali ini mereka menemukan kawicaksanan sendiri dari games tanpa harus — dan sebaiknya jangan sampai — berguru kepada Ndoro Wicaksono.
Anak belajar dari yang dilihatnya saban hari, dari orangtuanya yang tiap tidak enak badan sedikit pasti membolos (tapi bisa jemput anak lalu pergi ke mal) sampai teman-temannya yang nyontek (dan dapat nilai bagus).
Kapan dan bagaimana menyisipkan pesan yang diyakininya bersumberkan “nurani” (padahal belum tentu; hanya pensiunan jenderal yang tahu), setiap orangtua punya cara sendiri.
Anak belajar dari yang dilihat dan dialami. Melihat ayahnya selalu menyetir dengan memotong garis lurus, melanggar lampu merah, dan melintasi bahu jalan tol, anak akan mendapatkan bukunya sendiri.
Bagaimana bisa mengajari anak berterima kasih kepada pembantu jika orangtua ternyata tak melakukannya? Bagaimana meminta anak meminta maaf setiap kali bersalah jika orangtua enggan mengucapkan hal yang sama?
Lebih mudah — dan lebih enak — bikin anak (ups! maaf…) ketimbang mengurusi dan mendidik mereka setelah lahir.
Maka inilah yang dilakukan seorang ayah ketika mendengar gadisnya yang sudah remaja spontan mengomentari ceritanya dengan kata “anjrit!”
Dia tak memarahi. Hanya memberi pengertian bahwa kata yang berasal dari “anjing!” itu kurang sopan untuk diucapkan, kecuali terhadap sesama teman, dala situasi khusus.
Tentu pemaparannya disertai embel-embel kisah berbau psiko-sosiolinguistik: dulu kata “busyet!” pun dianggap tak pantas, tapi akhirnya masuk ke acara TV. Lain waktu si ayah mungkin akan menjelaskan kata “jancuk” atau “diancuk”…
Mengajarkan yang baik dan buruk bukan soal gampang, karena orangtua pun terus belajar. Celakanya, yang buruk itu lebih gampang dan, ehm…, lebih enak. Ah paragraf ini cuma copy and paste dari pendeta dan dai. Maaf.