BEKERJA = KESENANGAN = BAYAR.
“Gue kerja supaya bisa membiayai selingkuhan. Malu dong kalo pake duit suami.”
Itu tadi bukan kutipan persis. Tapi begitulah kira-kira SMS yang dibacakan kemarin pagi di Kis FM Jakarta. Nakal, orisinal, menyentak. Sebuah gurauan wanita muda urban untuk topik alasan bekerja.
Jawaban lain, semisal bekerja supaya dapat pacar, atau selalu ketemu pacar, sudah terasa klise. Saya tak ingat, adakah jawaban klise lain yaitu bekerja — dalam arti ngantor — supaya bisa nginternet gratis.
Kemarin seorang motivator laris yang diundang oleh kumpeni tempat saya bekerja mencontohkan orang yang bekerja untuk membayar utang dan utang, dari bulan ke bulan. Duh…
Bekerja untuk aktualisasi diri, kita semua mengamini. Bekerja untuk mendapatkan uang, kita semua setuju.
Dulu ketika saya menanya salah satu pendiri merek kaos tenar di Yogya apakah nggak tergoda cari kerja ke Jakarta seperti teman-temannya, jawabannya adalah, “Wooo… ha salah, Dab! Kalo ke Jakarta itu ya nyari duit, bukan nyari kerja.”
Dalam kasus yang palng sederhana, pencari kerja adalah orang yang tak punya duit. Tapi sebuah keluarga harus keluar uang dan jual mobil agar ketiga anaknya diterima di kepolisian dan kejaksaan.
Ketika saya ceritakan itu kepada dua teman saya kemarin, di tengah kemacetan, mereka bilang, “Namanya juga Indonesia.” Malah salah seorang bilang, adiknya juga dimintai uang ketika mendaftar ke perusahaan swasta.
Ah, para pemungut uang itu tahu bahwa bekerja adalah kesenangan. Maka mereka menerapkan prinsip yang berlaku di Dunia Fantasi, Taman Safari, spa dan “spa-spaan” (yang ini untuk pria), rumah bilyar atau boling, diskotek, dan resor wisata: pencari kesenangan harus bayar.
Bayarannya mahal karena pencari kesenangan tak hanya menikmati beberapa jam, melainkan bertahun-tahun, sampai pensiun.
© Foto: entah
Tulisan lain tentang kerja: Berangkat Gelap, Pulang Gelap