Parade Artis Mandarin

▒ Lama baca 2 menit

PERIHAL PECINAN BARU.

artis mandarin dan canto-pop

Lihatlah iklan Kelapa Gading Square dan Bukit Golf Mediterania (Pantai Indah Kapuk). Keduanya adalah bagian dari pecinan baru, yang berada di mulut naga yang menghadap ke Teluk Jakarta. Garisnya membentang dari Teluk Naga, Kapuk, Pluit, Muara Karang, Ancol, sampai Kelapa Gading. Itulah wilayah yang menurut fengshui bagus.

Maka bagi saya wajar saja jika acara Minggu 17 Desember di kedua tempat itu bertemakan hiburan mandarin. Akan aneh dan nggak nyambung jika pengembang dan event organizer menghadirkan campursari Didi Kempot dengan MC Thukul Arwana. Beda pasar, beda kultur. Sebaliknya, menghadirkan hiburan mandarin di pedesaan Gunungkidul, DIY, untuk promosi sebuah produk, juga akan aneh.

Baiklah, untuk soal hiburan — sebagai bagian dari paket pemasaran — sudah jelas persoalannya. Tak ada yang aneh.

artis mandarin dan canto-pop

Tapi mengapa sampai ada pecinan baru? Bagi saya ini tak terhindarkan. Sudah jadi naluri manusia untuk berkelompok atas persamaan tertentu, termasuk etnisitas.

Tanpa harus merujuk sejarah kolonial mengapa sampai ada Kampung Bali, Kampung Melayu, dan Koja di Jakarta (juga Pondok Cina di Depok), kita melihat pengelompokan etnis tertentu kadang bertolak dari ekonomi. Ada beberapa titik di Jakarta yang berisi sejumlah orang Madura karena merekalah yang “membuka” wilayah itu dengan berdagang kayu bekas peti dan besi tua.

Ada pasar yang diisi oleh banyak pedagang Minang, begitu pula kantung permukiman tertentu di sekitarnya. Ada pula kompleks pasar dan terminal yang bercitrakan Batak, padahal tak semua pedagang maupun sopir angkot di situ orang dari Tapanuli.

Jika titik tolaknya adalah sektor informal, maka pembiakannya berlangsung alami. Merekrut saudara sekampung, melalui pemagangan, adalah hal yang lumrah. Setelah lulus, pemagang pun mandiri, lalu mengulang pola rekrutmen yang sama.

Maka wajar saja jika banyak kios angin dan tap oli yang dimiliki oleh orang Batak. Begitu pula keagenan media cetak. Contoh lain adalah warteg (tentu wong Tegal), martabak orang Brebes, dan tenda sari laut orang Lamongan.

Sejauh ini tak ada masalah. Mungkin karena pertalian bisnis orang Minang, Batak, Madura, dan lainnya tadi tak membuahkan permukiman (yang akan dianggap) eksklusif. Nah, bagaimana dengan permukiman tertentu, termasuk apartemen, yang diisi oleh banyak orang C(h)ina?

iklan pik dan kelapa gading square

Jejak sejarahnya lebih panjang. Yang namanya chinatown biasanya bukan hanya hunian melainkan juga toko. Ketika tempat lama tak lagi memadai, maka permukiman terdekat akan diisi. Tidak aneh. Ini manusiawi.

Jika permukiman baru tadi juga kian sesak, maka pengembang akan membuatkan perumahan. Pertimbangannya sangat bisnis: kalau ada orang butuh hunian dekat tempat usaha, ya tinggal dibikinin lalu dijual.

Karena perumahan baru untuk kelas menengah ke atas itu mahal, maka yang sanggup membeli hanya yang berduit. Kebetulan yang punya duit, dan cocok dengan lokasi (dekat pusat bisnis), adalah orang C(h)ina tertentu. Masih lebih banyak lagi orang C(h)ina yang tak sanggup membeli rumah bagus dan apartemen dekat tokonya. Oh ya, juga tak sedikit orang C(h)ina yang tidak mengharuskan diri bermukiman di lingkungan pecinan.

Memang ada rasan-rasan, kantung permukiman yang menjadi pecinan baru itu terkesan eksklusif. Bukan eksklusif dalam arti formal, yaitu hanya membolehkan pemukim berdarah C(h)ina dengan ciri-ciri fisik stereotipikalnya, melainkan eksklusif dalam arti homogenitas. Sepenuhnya homogen? Nggak juga. Banyak juga pembantu, sopir, tukang kebun, dan satpam yang non-C(h)ina.

Apakah pemerintah harus mengatur persebaran hunian warga secara etnis? Husss, memangnya negeri ini peternakan? Hak setiap warga negara untuk memilih tempat tinggal masing-masing.

Hak setiap orang untuk hidup berkelompok. Maka ada pula kompleks perumahan yang berlabel “islami” (bukan berlabel “muslim”), yang ditawarkan kepada publik (bukan perumahan karyawan lembaga keagamaan), sebagai upaya pewujudan kehidupan bersama yang lebih baik sesuai spirit Islam.

Tak berarti orang nonmuslim dilarang bermukim di situ kan? Setidaknya dalam pengandaian saya, lho. Rumah sakit Islam dan kedai masakan muslim juga tak menolak pasien maupun pengudap nonmuslim kan?

Tinggalkan Balasan