↻ Lama baca 2 menit ↬

BAGAIMANA DENGAN INDONESIA?

pinochetDiktator dan pembunuh itu meninggal dunia dalam usia 91 tahun. Sebagian rakyat Cile yang dendam kepadanya merayakan kepergian itu, dengan bonus penyesalan, “Sayang dia belum sempat dipenjara.” Begitu dia meninggal, semua kasus dan sangkaan terhadapnya ditutup oleh pemerintah.

Selain yang anti, tentu ada yang pro kepada Augusto Pinochet. Yang pro pastilah bersedih. Itu biasa, Dik.

Jika kita bicara tentang kepantasan, layakkah kita menari saat seseorang yang kita benci meninggal? Beda hati beda takaran.

Yang satu bilang, apa tidak boleh sakit hati yang memejal sekian lama dicairkan dengan keriangan sesaat?

Yang lain bilang, girang sih boleh saja tapi tak usah dinyatakan terbuka dan mencolok.

Yang lainnya lagi menyatakan, meski tak bersedih atas kepergiannya tak berarti kita pantas mendukung mereka yang merayakannya penuh suka cita.

Tentu masih ada suara lain, mungkin termasuk dari sebagian kalangan yang mengharapkan dia lekas meninggal agar urusan tak melebar ke mana-mana, “Ah sudahlah. Jangan membicarakan keburukan orang yang meninggal.”

Kasus Pinochet terjadi di Cile. Tapi dalam hal kejahatan terhadap kemanusiaan, batas negara bukanlah sekat terhadap nurani. Orang di luar Cile bisa dan boleh membenci Pinochet.

Sekarang tengoklah cara media di Indonesia memberitakan Pinochet. Berapa banyak yang menggunakan kata “meninggal”, dan berapa banyak yang menggunakan “wafat”. Bagaimana dengan “mangkat”? Ki Gugel bisa membantu.

Ada saja luka dalam sejarah, apalagi jika menyangkut tokoh. Ketika buku sejarah masih kita pegang untuk kita tulisi bersama, persoalan yang tampaknya sederhana tetap saja rumit karena menyangkut rasa. “Melupakan” dan “memaafkan” adalah dua hal yang berbeda tapi bertolak dari niat yang sepintas sama: membuka ranah kehidupan bersama yang lebih baik.

Mereka yang pro-pemaafan bertolak dari keyakinan bahwa kehidupan yang lebih baik hanya bisa dicapai dengan belajar dari kesalahan. Pintu maaf hanya bisa dibuka jika orang tersebut sudah dinyatakan bersalah (dan diganjar) melalui pengadilan yang berperikeadilan (bukan semata karena dendam maupun nafsu serigala mengerubuti mangsa), kemudian dia mengakui kesalahannya, dan meminta maaf kepada rakyat — bila perlu melakukan sesuatu untuk menebus kesalahan. Ketika dia meninggal, bolehlah diantar — bahkan dikenang — dengan segala kemuliaan.

Tanpa itu yang ada hanyalah dendam tak berkesudahan, dengan tambahan bukti maupun timbunan sangkaan baru, yang terus teracungkan kepada cucu demi cucu yang tak bersalah.

Tanpa itu — ya, pemaafan — kita akan meniti jalan berpagar kesumat, sambil berharap semoga sang pagar segera lapuk dimakan waktu, tapi harapan tak kunjung terwujud. Sungguh tak sehat.

© Ilustrasi: www.histoire.fr

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *