LAGI, SAJIAN SIMPONIK DARI ERWIN GUTAWA. ADA MALARIA-NYA HARRY ROESLI.
Sampul CD ini berefek tiga dimensi(onal). Mengingatkan saya pada kotak pensil lawas. Barangkali Erwin Gutawa dan desainernya ingin menghadirkan wajah rock yang multidimensi(onal), sambil memaketkan tribute — atau malah homage — terhadap sesuatu yang sudah lewat. Dan jadilah Rockestra!
Hasilnya? Bolehlah. Layak beli. Dengan catatan: menurut saya yang awam musik. Anggap saja ini suara konsumen yang tidak beli keping bajakan.
Manakah yang bagus dari 13 lagu? Overture, yang merupakan medley dari empat lagu God Bless, yang dimainkan oleh London Symphony Orchestra (LSO). Megah, menggugah, dengan paduan suara — yang menurut Erwin — impromptu choir.
Yang bagus lainnya Kehidupan (Jockie Soerjoprajogo/God Bless 1988) ala Andy /rif dan Roy Jeconiah. Adapun lagu mendayu Hilangnya Seorang Gadis — ya, rock ballad memang mendayu, tapi mungkin ada yang bertanya memangnya lagu itu aslinya ngerock? — karya J. Sarwono (Rhapsodia, 1972) di tangan Erwin jadi sangat tertolong karena aransemennya oke. Misalkan yang membawakan adalah Candil barangkali jadi permen dengan sedikit rasa Aerosmith dan Guns n’ Roses — lebih enak gitu.
Sedangkan Jangan Ada Angkara (Younky Soewarno/Maryati, aslinya dibawakan Nicky Astria, 1999), dalam dendangan Pak Ahmad Iyek Albar jadi kekurangan greget. Kayaknya akan lebih bagus kalau dibawakan oleh Teteh Nicky.
Ada yang menarik dari album Rockestra ini. Erwin mencomot Malaria (Harry Roesli and His Gank, 1971), dibawakan oleh Kikan. Andaikan sinisme dan satire Kang Harry ditafsir dan diadaptasi secara lebih liar dan nakal — katakanlah oleh Slank — barangkali akan lebih pas.
Orkestra memang bisa jadi mainan untuk efek kolosal. Saya tak tahu sejak kapan pop dan rock Indonesia akrab dengan orkes simponi. Denny Sakrie lebih tahu. Yang saya ingat, Mercy’s pernah memakai orkestra di TVRI untuk lagu Ayah (lagu yang likuran tahun kemudian dibawakan Indra Lesmana). Guruh pada 1979 juga pernah, antara lain Jenuh, dibawakan oleh Ahmad Albar (dalam album ini oleh Pinkan).
Dari segala orkes-orkesan itu — di luar Telerama TVRI — yang paling mengesankan saya adalah proyek Jockie Soerjoprajogo Musik Saya adalah Saya (1979) bersama Idris Sardi. Angin Malam tetap dibawakan oleh Chrisye, dengan dua drummer (Keenan dan siapa ya? Yaya Muktiyo atau Fariz R.M.?). Album ini layak dirilis ulang.
Majulah Erwin! Sayang Overture tidak dijadikan nada sambung pribadi. Nah kalau Anda mau NSP yang ngelangut, muram, tapi enak dan cocok untuk mewakili luka cinta dan sikap “nrimo” dan tahu diri dalam asmara, pilih saja Kasih tak Sampai-nya Piyu/Padi yang dibawakan oleh LSO. :)
N.B.:
Bahasa Indonesia memang membingungkan. Kalau kita pakai “simfoni”, dan juga “mikrofon”, kenapa ada “telepon” dan bukan “telefon”? :D