NGGAK SIRIK, NGGAK DIRUGIKAN, TAPI…
Setiap kali memasuki warung bakmi jawa milik wong Gunungkidul di Jakarta itu tetamu tercegat oleh sebuah Harley-Davidson Heritage Softail milik juragan warung. Motor gede itu tanpa penunggang. Berdiri di atas pentas kecil setinggi sekitar 30 cm. Tepat menghadap ke pintu kaca. Sebagian orang bilang, itu pamer.
Lho, apa salahnya memamerkan hasil jerih payah? Kalaupun tanpa jerih payah (misalnya hibah), salahkah bila seseorang memamerkan barang yang dia hargai dan banggakan?
Terserah si empunya motornya mau ditaruh di garasi atau warung. Pengudap hanya boleh protes jika motor itu dipanasi selagi mereka menyantap bakmi atau gudeg ala Malioboro, diawali dengan tempe bacem, randha royal, randha kemul, klepon, dan lemper. Sudah bising berasap pula.
Norak, kata yang lain. Snobbish, kata yang lainnya lagi. Apa boleh buat, ketika seseorang menujukkan barang pribadinya kepada orang lain maka dia (di)harus(kan) siap menuai komentar.
Masalahnya ada pada sosok si ikon: Harley-Davidson. Harga motor itu mahal, di Indonesia bisa dua kali lipat harga sono. Model tertentu kalau ditukar Kijang Innova V Extra 2.5 A/T bisa dapat dua, dengan uang kembalian. Orang skeptis bilang, “Tapi tetap kehujanan, kan?”
Karena mahal maka yang sanggup membeli H-D keluaran anyar hanya orang kaya. Karena orang kaya biasanya berteman baik dengan pejabat, maka H-D owners sering mendapat penghormatan. Touring ke daerah setidaknya akan disambut gubernur dan kapolda — apalagi jika si pejabat daerah juga seorang owner.
Di situlah pangkal masalah. Jika menyangkut laku lajak, maka rombongan H-D bakal lebih disorot ketimbang konvoi motor lain yang bukan kelas moge. Jika menyangkut hak menyewa area parkir motor, maka H-D (dan moge lain) mendapatkan privilese: boleh parkir di depan, seperti di Citos dan hotel tertentu. Misalkan mayoritas motor adalah H-D, maka bebek yang minoritas (dan lebih mahal daripada H-D) mungkin malah akan diizinkan, “Soalnya imut dan lucu sih.”
Kembali lagi ke simbol status, ya. Sebagian (kecil) dari kita cenderung sinis, setidaknya mentertawai, jika seseorang memiliki barang mahal (tidak hanya H-D) padahal dulunya dia tidak kaya. Tak jarang endapan memori akan digali, lalu dilontarkan, “Padahal dulunya dia itu kere lho.”
Sirik? “Wooo sori. Ngapain sirik? Barang itu bukan termasuk wish list gue!” jawab seseorang. Dirugikan? Terganggu? “Nggak sih. Cuma geli aja…” kata orang yang lainnya lagi.
Lho kenapa geli, padahal pemilik barang tak bermaksud melucu? Ada beragam alasan, tapi umumnya tak menyangkut “dirugikan” atau “terganggu” — bahkan ada jawaban yang tak menjelaskan sama sekali, misalnya cuma, “Vertu gitu loh…”
Kita selalu punya pengandaian bahwa pemilikan barang tertentu yang mahal-mewah harus diimbangi sikap dan perilaku yang sesuai. Lho sesuai menurut siapa? Menurut kita. Bukan menurut selera si empunya. Itu masalahnya.