↻ Lama baca 2 menit ↬

LAMPU RAKYAT YANG MENDANGDUT. TERANG TAPI BISING.

petromax petromaks pada gerobak bakmi di depan jalan panjang 8a

Kreatif. Sederhana. Fungsional. Hanya lembar seng seukuran dua telapak tangan dewasa yang dilubangi secara tak rapi. Dengan barang ciptaan sendiri itu Yanto bisa bekerja nyaman, tak tersilaukan oleh cahaya petromaks yang terangnya melebihi 100 Watt.

Ah, itu tak penting itu kita kan? Yang penting, bakmi dan nasi goreng harus segera tersaji.

Begitu tak pentingnya tabir petromaks dan juga nama Yanto bagi kita, sehingga dia mengeluh bahwa dirinya dipanggil dengan banyak nama oleh pelanggan. Tak pernah ada yang menanya siapa nama asli pria 30-an asal Tegal, Jawa Tengah, yang berdagang di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, itu.

Tapi saya membatin, kenapa tak ada penjual tabir petromaks? Akal bisnis mengatakan, kalau konsumennya sedikit ngapain dibikin dan dijual. Setahu saya sih para pedagang selalu memasang tabir cahaya untuk teplok dan petromaksnya. Tabir made in sendiri. Dari karton pun cukup.

Tak selamanya kekurangan sebuah peranti standar membuahkan bisnis alat tambahan. Pentil ban sepeda, sepeda motor, dan mobil boleh membuahkan beragam tutup dop. iPod, sebagai contoh kesaktian desain-dan-pemasaran produk penyusul, telah mengundang pertumbuhan aneka pernik. Tapi petromaks tak memacu banyak add-ons.

petromax petromaks pada gerobak bakmi di depan jalan panjang 8a

Hmmm… petromaks. Kata itu telah membenda. Berasal dari merek Petromax untuk lentera pompa. Sampai pertengahan 90-an, penjaja di banyak pasar tumpah, misalnya di Palmerah dan Kramat Jati (Jakarta), masih memakai petromaks sewaan.

Dulu setiap sore juragan petromaks menyiapkan lenteranya. Ada petugas pembersih kaca, pemasang kaos lampu, dan pengisi minyak. Setelah keajaiban listrik datang, sehingga setiap pedagang tinggal memasang bolam dan neon — entah dari mana sumbernya — maka petromaks pun terpinggirkan.

Petromaks adalah lampu rakyat, saksi ketidaksanggupan PLN menyediakan listrik murah. Begitu merakyatnya lampu pompa itu sehingga menjelang akhir 70-an beberapa mahasiswa UI, selain membentuk Chaseiro yang jazzy, juga bikin Orkes Melayu Pancaran Sinar Petromaks. Saat itu orkes melayu (OM) menyukai nama “pancaran”.

Saya, meskipun ndesit, kurang akrab dengan petromaks yang di beberapa daerah dinamai strongking (dari merek Stormking) itu. Ketika masih sekolah, saya menunggui rumah saudara, dan petromaks yang saya nyalakan itu menjadi api unggun. Untung tetangga segera turun tangan. Armada Dinas Pemadam Kebakaran tak perlu datang.

NB:
Dulu saja tak laku apalagi sekarang. Apa? “Berhadiah kaos gratis. Kaos lampu.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *