Melihat dan Terlihat

▒ Lama baca 2 menit

SEPEDA MOTOR NYALAKAN LAMPU, TAPI MOBIL?

Pagi tadi, di Jalan S. Parman, antara Slipi hingga Tomang, Jakarta Barat, lajur kirinya diisi motor. Hampir semuanya menyalakan lampu. Tapi beberapa motor yang ingin melaju cepat sudah mengambil lajur tengah, padahal mulai awal pekan ini motor diwajibkan melaju di kiri. Bremmm! Oh, ada mobil patroli polisi di lajur tengah.

Saya bermain tebakan dengan diri sendiri: dari sebelah mana motor-motor akan menyalip polisi, kiri atau kanan?

Satu motor menyalip dari kanan. Artinya dari lajur paling kanan. Lolos. Motor lainnya menyusul. Lolos. Polisi tak menegur.

Jika kewajiban menyalakan lampu motor pada siang hari itu untuk keselamatan semua pemakai jalan, karena motor menjadi lebih terlihat, saya setuju.

Surabaya sudah memulainya. Jauh hari sebelumnya Jawa Tengah pernah mencoba menerapkannya, terutama untuk perjalanan antarkota, tapi melempem.

Tentang penyalaan lampu motor pada siang hari, belasan tahun lalu saya sudah memulainya dengan skuter bobrok saya, tapi sesuai kondisi.

Dulu, saat mendung saya selalu menyalakan lampu. Tapi saya sering diingatkan oleh pemakai jalan, termasuk pejalan kaki bahkan polisi, untuk mematikan lampu. Saat hujan? Apalagi. Tentu saya nyalakan lampu halogen Osram saya.

Menjelang senja, dan setelah fajar, mendung maupun langit bersih, saya dulu selalu menyalakan lampu. Minimal lampu kecil. Saya ingin motor saya terlihat.

Saya bisa melihat, tapi saya ingin orang lain juga melihat saya agar saya tak tertabrak. Maka dulu sebelum berangkat saya selalu memeriksa lampu depan, lampu rem dan lampu sein, bahkan selalu membawa bolam cadangan untuk ketiga jenis lampu itu. :D

Saya takut ditabrak. Maka memilih jaket pun yang menyala. Biar norak yang penting mencolok mata. Helm saya tempeli 3M Scotchlite — waktu itu belum ada lampu LED untuk helm.

Untuk sepeda, ketika saya masih kuat nggenjot, dan sering bersepeda pagi maupun malam, saya tak hanya memasang reflektor pada jari-jari, setang depan, dan bagian belakang sepeda. Saya juga memasang lampu halogen CatEye untuk depan dan pengedip LED di belakang. Ada lagi: rompi jaring berwarna oranye fluorescence dengan strip reflektor. Meriah, tapi demi keselamatan. Untunglah tak perlu nenteng petromaks atau lampu karbit ala pemburu kodok.

Ketika masih kuat jogging, saya selalu memilih sepatu yang bereflektor. Saya selalu memakai kaos terang. Bahkan saya hampir punya pengedip LED untuk lengan (ketika kembali ke toko sukan, barangnya sudah terbeli). Aman? Salah satu alasan pensiun dari jogging adalah karena beberapa kali saya diserempet spion mobil, bahkan pernah sampai terdorong ke dalam got.

Nah, jika menyangkut mobil, dan lampunya, memang ada saja yang sontoloyo. Pagi hari dan senja (sehabis hujan pula) ada saja yang tidak menyalakan lampu. Mereka pikir mobilnya (padahal hitam), akan segera terlihat oleh spion mobil lain maupun motor.

Anehnya, entah mobil yang sama atau tidak, pada malam hari ada saja yang norak: menyalakan lampu terang-jauh yang menyilaukan (apalagi dulu ketika xenon mulai musim), malah ada yang meniru mobil reli yang berbanyak lampu. Impian tak sampai untuk menjadi Colin McRae.

Di jalan tol, pengemudi mobil di depan akan tersilaukan oleh lampu norak melalui ketiga spion. Lebih norak lagi, saya beberapa kali menjumpai ada mobil yang berlampu jauh dan menyilaukan tetapi jalannya pelan. Banyak mobil depan yang menyangka si norak itu minta jalan.

Suatu malam di atas Jembatan Molek, yang melintasi Kali Sunter, yang merupakan batas DKI dan Jabar, saya pernah menghentikan motor saya di tengah. Dari arah depan ada jip Toyota FJ yang memakai lampu bertumpuk-tumpuk, menyala semua, sehingga saya hanya melihat sinar putih.

Pengandaian saya benar. Si pengemudi melihat saya, karena lampunya luar biasa terang, lalu meredupkan dan mengurangi nyala lampunya. Juga, lebih utama lagi, menghentikan mobilnya. Sebuah pengandaian yang nekat. Tapi pilihan saya waktu itu cuma dua: nyemplung ke kali atau berhenti.

Tinggalkan Balasan