BERBAHASA SATU: BAHASA GADO-GADO!
Di sini, ya di blog ini, pelanggaran terhadap kaidah berbahasa adalah sebuah rutinitas. Karena sembrono? Ya.
Kok nggak malu? Ah, malu juga sih — apalagi jika menyangkut “slaah pkous” dan “slaha kteik”. Benny Chandra termasuk seorang pembaca naskah yang cermat. Maka dia pun langsung mendapati kejanggalan ketika saya belakangan ini mencoba menyamakan “apa lagi” dan “apalagi”.
Baiklah, hasil kesembronoan dapat diperbaiki, jadi lupakan saja (uh, curang!). :)
Selain kesembronoan, keanehan kata dalam blog ini juga karena pilihan. Misalnya “Prancis” (bukan Perancis), “cina” dan “Cina” (bukan “china” maupun “China”), “internet” (bukan “Internet” dengan “I” kapital), dan “becermin” (bukan “bercermin”).
Selebihnya silakan (ya, saya memakai akhiran “kan”) Anda cari sendiri. Dalam hal apa “Matahari” (nama planet, dengan “M” kapital), dan dalam hal apa enak saja pakai “mentari” (dengan “m” kecil atau lowercase). Dalam ungkapan gombal: konsisten dalam inkonsistensi. :P
Lantas di mana persoalannya? Marilah kita cari dan tetapkan kambing hitam. Apa, eh siapa? Bahasa Indonesia. Hore!
Maka janganlah mengambinghitamkan kemiskinan pemeriksa ejaan Indonesia dalam komputer, termasuk dalam desktop publishing.
Bahasa Indonesia ternyata membingungkan (kalau kita merasa bingung). Bahasa Indonesia juga bisa tanpa persoalan jika kita berprinsip pada hubungan batin: yang penting sama-sama memahami. :D
Wah, kacau dong? Memang. Untunglah, dalam karut-marut itu selalu ada yang peduli. Kompas, misalnya, punya rubrik bahasa. Tempo (koran maupun majalah) akhirnya juga punya. Namanya “Bahasa!”. Betul, pakai tanda seru — mungkin berteman dengan Yahoo!.
Apakah bahasa media massa selalu beres? Silakan Anda nilai sendiri. Terhadap sepuluh media yang bulan lalu dinyatakan “berbahasa terbaik” toh muncul juga pertanyaan dari kalangan editor bahasa media massa. Misalnya, kenapa Pikiran Rakyat tidak terangkut, padahal bahasanya bagus?
Pemilihan penutur bahasa terbaik hanyalah bagian dari proses tarik-menarik dalam pembakuan bahasa. Bahasa Indonesia bukan sebuah paket komplet yang telah selesai sehingga masih harus dibentuk bersama.
Maka lihatlah, sampai hari ini kita masih kikuk dalam menyerap istilah asing. Mau pakai warisan Belanda atau merujuk ke bahasa Inggris (tanpa harus menjadi bahasa Malaysia)?
Sebagian dari kita masih membedakan bentuk tunggal dan jamak untuk kata tertentu: politikus dan politisi, serta musikus dan musisi. Kompas pernah memakai “fora” untuk menjamakkan “forum”. Tapi kebingungan perihal tunggal dan jamak masih berlaku di banyak media, terbukti masih ada kata “data-data” — padahal “data” adalah bentuk jamak dari “datum”.
Entahlah bagaimana dengan alumnus, alumna (perempuan, tunggal), alumni dan alumnae (perempuan, jamak) — suatu pembedaan yang juga ada dalam bahasa Inggris. Belum lagi upaya memadankan kata kerja “criticise” menjadi “meng(k)ritisi”, karena “critic” adalah kata benda (orang).
Walah, repot juga ya? Kadang niat hati ingin konsisten (te)tapi hasilnya akan berbenturan dengan kelumrahan — padahal yang lazim belum tentu benar.
Dulu ada seorang guru besar (ilmu) ekonomi, namanya Ace Partadiredja, yang selalu memakai “ekonomika” untuk memadankan “economics“, sehingga bikin buku dan mata kuliah “Pengantar Ekonomika”. Alasannya, sesuai kaidah penyerapan kata asing. Bukankah “statistics” menjadi “statistika”, dan “physics” menjadi “fisika”?
Aha, saya teringat pelajaran bahasa Inggris saat SMA: ada economics, economic, economy, economist dan economists (bikin murid mendesis seperti ular lalu ngeces).
Bagaimana jika “economics” menjadi “ilmu ekonomi”? Banyak orang setuju. (Akan te-)Tapi di media masih sering kita temui “ilmu biologi” (logi, dari logos, berarti ilmu). Adapun “biolog” kita serap dari bahasa Belanda (“bioloog”), untuk memadankan “biologist” yang Inggris. Bagaimana memadankan “biological science(s)“? Apakah menjadi “ilmu(-ilmu) hayati”? Untuk “geoscience(s)“, sebagian orang memilih “ilmu(-ilmu) kebumian”.
Selamat berpusingria! Jika Anda memang ingin menikmati kepusingan atas nama pencarian kebenaran dan kejelasan dalam berbahasa, boleh juga menambahinya dengan buku suntingan Salomo Simanungkalit ini — buku kedua setelah Inul itu Diva? Kumpulan Kolom Bahasa Kompas.
Persoalan di sana bukan semata ejaan melainkan juga pilihan kata, dan lebih penting lagi bahasa sebagai peta pemikiran. Misalnya “lonte”, “pelacur”, “wanita tunasusila” (bagaimana dengan pria konsumennya?), dan “pekerja seks komersial” (Ayatrohaédi, hal.16).
Semasa (Su)Karni Ilyas menjabat direktur pemberitaan SCTV, dalam sebuah pertemuan kebahasaan di kantornya dia pernah menyatakan bahwa pihaknya memilih kata “pelacur”.
Saya dulu, ketika menangani laporan wawancara dengan Mama Dolly (pelopor pelacuran Dolly, Surabaya) direpoti oleh hamburan kata “lonte” — lebih mudah daripada naskah wawancara dengan germo legendaris Hartono Prapanca yang selalu memakai kata “wedokan”. Bertahun-tahun kemudian, Sutardji Calzoum Bachri dalam sebuah cerpen enak saja menyebut warna “hijau yang kelonte-lontean”.
“Lonte”, “sundal”, “pelacur”, “wanita tunasusila”, dan “pekerja seks komersial” juga berkait dengan rasa — jangan macam-macam, maksud saya adalah “rasa (ke)bahasa(an)”. Selain itu juga berkait dengan konteks penuturan.
Lantas apa dong ringkasan buku kumpulan artikel Juli 2003 – Juli 2006 itu? Lho, ini bukan resensi maupun bedah buku. Ini hanya sebuah persinggungan ketika saya menulis soal bahasa. Jika meminjam istilah Firman, maka tulisan ini adalah panggung gombalan saya, bukan podium untuk buku :D
(Akan te-)Tapi kalau saya diharuskan menghakimi, maka saya akan menyebut buku ini layak beli dan layak baca. Para guru bahasa Indonesia harus membacanya agar dapat menjelaskan sengketa bahasa kepada murid-muridnya. Jika Anda enggan membeli, telusurilah arsipnya di Kompas Online.
Selamat untuk Salomo. Teruslah berlelah dalam menyoroti bahasa. Sayang sekali, sebagai penyetuju kata “anda” (dengan “a” kecil”), Anda tak menyisipkan bonus artikel khusus tentang hal itu. Ibarat CD kompilasi yang bagus, mestinya ada bonus tracks. :D
Selebihnya kita tunggu buku sejenis dari Grup Tempo. Juga, kita tunggu buku dari perguruan tinggi yang beberapa dosennya dulu sangat gatal dalam membenahi bahasa: ITB, UGM, dan Satya Wacana. Makin banyak versi makin membingungkan (te)tapi itu mengasyikkan. Lebih baik kita bingung karena banyak rujukan daripada bingung karena tiada pegangan. Gombal kan? :D
Oh dalam buku itu, obituari dari Salomo untuk Sudjoko juga dimuat. Munsyi Sudjoko, menurut Daniel Dhakidae (eks-editor jurnal Prisma), mengawali suratnya dengan, “Redaksi Prisma yang goblok!” Prisma-nya LP3ES gitu loh! :D