Baby Sitter dan Batur

▒ Lama baca 2 menit

TERNYATA KITA MASIH HARUS BANYAK BELAJAR.

Maafkan saya jika tulisan ini tak nyaman dibaca. Saya hanya mau membagi sesuatu yang lumrah, kerap terlihat di pusat perbelanjaan. Tuan, Nyonya, Sinyo, dan Nonik mengudap santapan lezat, tapi pembantu hanya menonton sambil menunggui tas belanjaan, cuma dipesankan minuman. Atau pengasuh anak, yang berseragam, dengan panggilan “suster” itu, hanya dipesankan menu paling ringan (baca: termurah).

Bukan, persoalannya bukan karena soal ini sering menjadi pertanyaan berbau menggugat, bahkan meledek, dari orang-orang asing. Dengan atau tanpa kritik asing, bagi saya soal itu tetap saja tak menyamankan.

Saya tak tahu seberapa sanggup kita mendiskusikan hal ini secara terbuka, dari bayaran sampai perlakukan dalam keseharian terhadap pembantu dan pengasuh anak.

Jawaban, “Oh nggak semuanya kok, Mister. Buktinya keluarga saya ndak gitu kalo jajan ngajak pembantu,” tentulah bukan berarti persoalan selesai.

Bisa saja di satu sisi kita merasa egaliter, prokesetaraan derajat, menolak feodalisme, menyangkali kasta, tapi membiarkan pembantu selalu duduk di lantai, bahkan saat makan (menu berbeda), dengan alasan, “Itu bagian dari sopan santun.”

Juga bisa, kita mengajukan dalih bahwa eksperimen sosial berupa “demokratisasi perlakuan pembantu” malah berbuah “dikasih hati mengambil ampela” atau “kere munggah bale” (gembel naik ke balai-balai), yang ujung-ujungnya merugikan.

Apa yang kita lakukan adalah buku teks kehidupan bagi anak-anak kita. Jika kita selalu mengabaikan kata “tolong” dan “terima kasih” terhadap pembantu, maka anak-anak tinggal meniru dan meneruskannya — sampai dewasa.

Seorang anak kelas V SD pernah tersedu-sedu menangis di depan ayah dan ibunya karena menahan beban. Anak perempuan itu terjepit. Di satu sisi dia berkewajiban membela seorang kawan yang selalu dihina, di sisi lain kawan-kawannya tak hanya menghina melainkan juga merusak dan membuang alat tulis si terhina, bahkan anak-anak itu sempat melarang si tersedu untuk bergaul dengan si terhina. Penyebabnya: si terhina adalah anak seorang pembantu rumah tangga.

Jujur saja, saya juga pernah mengidap kejahatan busuk seperti itu waktu kecil, ikut-ikutan menghina teman yang anak pembantu atau anak panti asuhan. Apa yang membuat saya sadar dan jera? Keberanian dan keteguhan mereka, yang seolah memegang prinsip “hanya (ada) satu kata: lawan!” Jika mulut dan prestasi tak bisa membalas, jotosan bisa menjadi jawaban untuk anak-anak sombong.

Ketika libur semester pada tahun pertama kuliah, saya membaca majalah Gadis. Ada tulisan teman saya, tentang dirinya sendiri, yang sekian lama menjadi pembantu supaya bisa sekolah. Dia kenyang hinaan dan perlakuan tak pantas dari anak-anak majikan. Sejak itu saya semakin menghormatinya. Apalagi ketika dia berani memilih topik skripsi yang kurang lumrah: kalender pranata mangsa untuk petani.

Dua tahun lalu kami reuni. Saya bersua dengannya. Dia dosen sebuah universitas negeri. Pembawaan dirinya tetap bersahaja dan santun. Ketika ngobrol berdua dan saya ingatkan tentang tulisannya, Pak Dosen hanya tersenyum, “Ah, kamu masih ingat itu toh, Tyo?” Dia bisa mencandai masa lalu, tanpa banyak dendam — setidaknya menurut kesan saya. Sore ini barusan saya menelepon dia. Teman saya itu tetap rendah hati. Dan bertambah bijak.

Tinggalkan Balasan