SUSAH JUGA JADI PENYIAR. YA, NGGAK?
Tadi pagi sang penyiar stasiun radio anu ngobrol dengan tamunya, yaitu pengacara dari Lidya Pratiwi. Sang penyiar bertanya, bagaimana jika nama kliennya disamarkan sebagai inisial karena statusnya masih “dianggap melakukan pembunuhan”.
Bung Pengacara bilang, kliennya sudah “didakwa”, begitu pun beberapa anggota keluarga Lidya. Jadi, boleh saja namanya disebut. Lagi pula, kata Bung Pengacara, media telah memberitakannya sehingga masyarakat sudah tahu.
Setahu saya talk show di stasiun radio anu itu bukan acara humor. Bahkan penyiarnya pun serius. Tapi inilah pertanyaan Mr Host: karena yang dibunuh sudah mati dan tidak bisa bilang apa-apa lagi, haruskah pembunuhan jadi delik aduan?
Memang itu bukan kutipan langsung, melainkan hasil rekonstruksi semantik saya. Bung Pengacara menjelaskan, kasus pembunuhan memang bukan delik aduan.
Misalkan saya menjelaskan kepada anak kecil, maka inilah ringkasannya: kasus penghinaan (kecuali terhadap kepala negara) hanya bisa sampai di pengadilan kalau yang terhina mengadu; sedangkan dalam kasus pembunuhan — meskipun korban dan orang lain diam saja — polisi tetap akan menyelidiki.
Yang namanya siaran langsung memang bukan soal gampang. Salah tanya, keliru berkalimat, dan sejenisnya, akan langsung didengar (dan dilihat, kalau di TV) oleh khalayak.
Yah, masih lebih aman penyiaran materi terekam karena hasil taping bisa disunting dan diulang. Lebih aman lagi media cetak, masih ada waktu buat menimbang — tapi yah tetap saja bisa keliru, padahal rubrik ralat maupun erratum/errata tak pernah jadi favorit pembaca.
Dari segi ilmu curang dan kiat ngeles, tentu saja ngeblog lebih luwes. Beberapa “slaah pkous” bisa langsung diperbaiki, kesalahan data bisa dibenahi. Memang sih, jika jarak perbaikan terlalu lama maka kesalahan kadung tersebar melalui e-newsleter dan sindikasi blog.
Hmm… jadi penyiar, host, anchor, presenter, dan MC memang tak gampang. Orang lain sih kadang mengira pekerjaan itu enteng, bisa santai, tapi funky.
Bagaimana dengan pewawancara untuk media cetak? Sama. Kalau tanpa persiapan (termasuk persiapan fisik) bisa berantakan.
Dulu, selagi muda (huahahaha!), dalam keadaan ngantuk sehabis begadang tenggat saya mewawancarai seorang psikiater dan sex counselor tenar. Dia sering memberikan question tag “…., bukan?”
Memalukan. Karena saya ngantuk berat, sempat terucap jawaban saya saat tersentak bangun: “Bukan!” Pak Dokter kaget.
Hal serupa pernah terjadi ketika saya mewawancarai narasumber yang sering menegaskan pernyataannya dengan “…ya, nggak?” Saya keprucut menjawab, “Nggak!”
Dia pun marah, “Saudara ini gimana sih? Masa sih Saudara tidak menganggap penting arti stablilitas bagi pembangunan blablablabla…. #$%&*@? Ya, nggak?!”