↻ Lama baca < 1 menit ↬

SEKEPING POTRET INDONESIA.

milik pribumi

Tulisan “milik pribumi” pada pintu halaman toko itu, dalam senja yang menggelap, mengingatkan saya pada peristiwa kelam delapan tahun silam. Jejak Kerusuhan Mei 1998 masih ada di mana-mana, dari bangunan rusak sampai jiwa yang terkoyak.

Si pemilik mungkin malas mengganti plastik penutup pintu. Atau mungkin dia lupa bahwa tulisan itu masih ada. Demikian pula orang yang lewat. Atau, jangan-jangan malah bisa ancar-ancar alamat, “Itu lho yang ada tulisannya…”

“Milik pribumi” adalah label pembeda untuk penyelamat. Fungsional tapi aneh, karena mengoyak sebuah keindonesiaan. Kalau sebuah bangunan itu milik nonpribumi, maka boleh dijarah, dirusak, dibakar. Begitulah peta benak masyarakat delapan tahun lalu. Mereka yang bukan rasis terpaksa ikut arus demi keselamatan harta dan nyawa.

Hmmm… “pribumi”. Istilah ini pun aneh. Siapa yang dimaksud dengan “pribumi”? Mungkin mereka yang merasa sebagai penduduk asli, karena nenek moyangnya terlahir dari batu setempat, bukan datang dari tempat lain, dari negeri lain.

Bisa juga “pribumi” berarti keturunan orang yang datang lebih awal, dan secara kolektif punya ciri-ciri fisik yang sama.

Lantas siapa pula “nonpri(bumi)”? Bukan sekadar yang bukan pribumi. Juga bukan keturunan Eropa, keturunan Arab, maupun keturunan India, melainkan keturunan Cina.

“Nonpri(bumi)”, mungkin untuk penghalusan karena menyebut “cina” (bukan “chinese“) dalam rasa bahasa dan situasi tertentu bisa dianggap kasar — lain dengan “tionghoa” atau “huaren”.

Dalam situasi tertentu, sebutan “orang Cina” dianggap tak senetral “porselen/keramik cina”, “masakan cina”, “silat cina”, “obat cina”, dan “motor (bikinan Republik Rakyat) Cina” — bahkan “petai cina”.

Bisa juga “nonpri(bumi)” bukan merupakan penghalusan, melainkan sebuah cara untuk mempertegas perbedaan, bahkan segregasi. Itulah resinofikasi: pencinaan kembali. “Kalian” bukan bagian dari “kami”. “Mereka”, dan bukan “kita”.

Dari sebuah coretan di pintu pagar sebuah toko di Pondokgede, Bekasi, saya menemukan sekeping potret Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *