Merindukan Burung Bertandang*

▒ Lama baca < 1 menit

KETIKA BURUNG TAK BERSANGKAR MENJADI KEMEWAHAN.

manukSaya bukan manusia yang ramah bagi burung. Buktinya burung gereja itu tak mau hinggap di jendela. Tak pernah mau. Hanya di kejauhan, di luar jendela, dia hinggap. Sama seperti ketika saya dulu bicara tentang burung dalam Taiko.

Tadi, juga sekarang, selagi saya mengetik, burung itu menclok di lubang angin. Sesaat, tak sampai lima menit, lalu terbang lagi. Dan kembali lagi. Sesekali dia — tepatnya mereka — hinggap dan meninggalkan tahi di gantungan nomor rumah.

Siang panas ini saya merindukan masa kecil, ketika burung-burung tak sungkan masuk ke kamar dari jendela yang terbuka lebar.

Siang ini dua daun jendela saya buka penuh, supaya rumah tanpa AC ini tak terlalu panas. Tapi burung-burung hanya di luar. Jauh dari tangkapan lensa.

Dulu, di rumah masa kecil saya, burung-burung berdatangan, menganggap kami sebagai kawan, karena nenek saya menyediakan wadah bulir nasi kering di tiang jemuran yang terletak di halaman berumput dalam rumah.

Burung-burung itu, seperti saya katakan, kadang masuk ke kamar melalui jendela. Tapi dasar anak tak tahu diuntung, kadang burung di kamar saya lempar selimut. Pasti ada yang tertangkap, untuk kemudian saya lepaskan lagi.

manukKini saya bermukim di luar DKI. Di kompleks yang rumahnya kecil-kecil, sebagian tak menyisakan halaman, dan sebagian besar lagi tak berpohon, karena lahan tak cukup.

Hmmm… pepohonan. Manusia membutuhkan, satwa juga. Jika bicara penghijauan yang bagus untuk manusia dan burung, Sir Mbilung pasti lebih tahu.

Saya teringat sahabat saya yang bermukim di sebuah kompleks perumahan di Sleman, Yogyakarta. Kepada setiap pembeli rumah, developer menanamkan pohon mangga di halamannya. Maka saat musim mangga, perumahan itu ikut memanen. Ulat dan codot juga ikut.

Di Jakarta, beraneka burung bebas beterbangan dekat rumah adalah kemewahan. Saya ingat ketika awal bekerja di Jakarta dan mencari seseorang di Bukit Golf Pondok Indah, blok eksklusifnya kawasan itu. Banyak pohon buah di taman-taman yang diapit jalan dan rumah mewah. Kata Pak Satpam, “Kalo rambutan atau nangkanya berbuah, ya kami yang ngambil.”

Yang mengesankan saya bukan hanya beragam buah, atau keteduhan yang nyaman buat jogging tengah hari seperti yang dilakukan oleh beberapa ekspatriat, melainkan kicau aneka burung tak bersangkar.

Sayang, kawasan yang setiap rumahnya berhalaman belakang lapangan golf itu harganya tak terjangkau oleh setiap orang.

*) Kalau burung dara yang datang, kenapa ya banyak orang tak suka? :)

Tinggalkan Balasan