↻ Lama baca 2 menit ↬

CARA PERSONAL DALAM MENGURUSI BUKU.

bookmarkKarcis tol. Setruk kedai kopi. Tiket bioskop. Karton label baju. Gerènjèng (kertas perak) bungkus rokok. Sachet gula atau creamer. Potongan iklan buku. Sobekan notes anak. Dan entah apa lagi (selain setruk toko buku), semuanya bisa menjadi pembatas halaman buku saya. Saya ingin tahu apa pembatas halaman Anda selain melipat ujung halaman menjadi dog’s ear.

Memang, ini soal sepele — sama seperti isi blog ini. Pembatas halaman tak ada hubungannya dengan isi buku maupun penilaian kita terhadap isi. Ini semata soal fungsional, sebagai penanda kita sampai di mana, tanpa repot mengingat nomor halaman.

bookmark

Semata fungsional? Eh nggak juga sih. Ada sisi sentimentalnya juga kok.

Ada lagi kebiasaan saya, dan yang ini saya tularkan ke anak saya. Yaitu melepaskan label harga dari plastik pembungkus, lantas dipindahkan ke sampul belakang buku.

buku habibie: detik-detik yang menentukan

Kadang berhasil, kadang tidak. Umumnya label harga (terutama yang tanpa barcode) memang tersayat agar konsumen tak menukar harga semaunya. Kalau dilepas, label akan robek.

bookmarkBuat apa memasang label harga? Supaya tahu harga buku. Sepuluh tahun mendatang, apa lagi jika lebih lama lagi, kita akan tahu perjalanan nilai rupiah dan pergerakan harga buku. Supaya ingat bahwa buku tertentu kadang dibeli dengan darah, keringat, dan air mata. Pokoknya bersakit-sakit ke hulu sampai kemudian ketemu rakit.

Soal kenangan terhadap harga ini saya pelajari dari buku-buku bapak saya. Dulu belum zaman label apa lagi barcode. Harga buku cuma berupa coretan pensil di halaman depan — alangkah malangnya petugas yang menulisi, serasa mendapat hukuman menulis hal yang sama ratusan kali.

Ada buku versi cetakan pertama, tahun 80-an, yang cuma berharga Rp 1.750, tapi cetakan mutakhirnya, tahun 2000-an, sudah menjadi delapan kali lipat.

Menariknya lagi, dalam buku-buku Bapak kadang ada bon toko dengan tulisan tangan hasil tindasan karbon. Ada nama dan alamat toko bukunya (yang mungkin sudah ganti logo, pindah alamat, atau bangkrut), dan ada pula keterangan buku apa saja yang dibeli bersamaan dengan buku itu.

bookmarkDi Bogor ada toko buku lawas. Namanya Politeia (masih ada nggak?). Buku-bukunya “lama tapi baru”. Maksud saya, yang dijual bukan buku bekas, melainkan buku lama yang tak kunjung laku. Harganya juga harga lama. Buku tahun 70-an ya dihargai sesuai zamannya. Misalnya Rp 415. Waktu krismon saya memborongnya.

Teman saya yang cerpenis aneh itu, setelah saya kasih tahu, ngelurug ke Bogor untuk memuaskan nafsu kemaruknya. Di toko itu ada buku karya ayahnya, profesor tamatan MIT yang eksentrik itu, dengan harga lama.

Pentingkah itu? Nggak. Tapi bagi saya menyenangkan. Rasanya setiap buku punya riwayat — begitu pula pembatas halamannya. Apa lagi kadang dalam tanda tangan buku saya cantumkan “Karisma MTA” atau “Gunung Agung Klp Gdng”, “Aksara Citos”, “Stasiun Gambir”, “TB Kukuh Subardi Salatiga”, atau… “obralan di Palmerah” :D.

Apakah semua buku saya berpembatas dan berlabel? Belakangan ini tidak. Saya mulai pikun. Mulai bertambah jumlah buku yang tanpa catatan kapan belinya.

Akan halnya buku hadiah, apa lagi bila ada coretan dari pemberi, ah… itu sangat berharga. Silakan kalau Anda mau mau menghadiahi saya. :D

frederick engels: anti-dűhring

BUKU WARISAN. Milik almarhum Bapak. Judulnya berbahasa Jerman, isinya Inggris. Tapi saya nggak sanggup mencerna.