TUTURAN IWAN ABDULRACHMAN.
Cuma jarak yang memisahkan kita / seribu mil lebih sedepa / seribu mil pun lebih sedepa / lagu alam memang sunyi, sayang // …Lagi pula ini bukan puisi / cuma bahana yang diam-diam… [Seribu Mil Lebih Sedepa]
Seberapa kita akrab dengan mil, pun depa, yang pasti bukan metrik, itu bukan soal. Hasan Sejutapuisi Aspahani bisa menjelaskan. Kalaulah itu bukan puisi, Hasan pula yang bisa memberi jawab — melalui puisi pula.
Mendegar CD Iwan Abdulrachman adalah membiarkan ruang kerja kita dialiri senandung. Berbalada, tak terlalu mendayu. Andaikan gitar akustik tak hanya diiringi oleh kibor, melainkan string betulan, tampaknya senandung lebih mengalir alami.
Dari hamparan kata, yang saya dapatkan dari Iwan adalah kebersahajaan. Tentu tak serta-merta kesederhanaan kata berarti lebih mudah dipahami karena siapa tahu metaforanya tak saya raih. Flamboyant berguguran / berjatuhan, berserakan // Sejak itu sang dara berharapan / esok lusa bersemi kembali.
Pak Iwan Ompong adalah senior yang (diminta) berdendang lagi ketika peta musik sudah sangat meriah dan beragam, dengan indie yang bertebaran (dan MTV). Bagaimana sosok dia di kalangan orang-orang seusia anak dan keponakan saya, ah entahlah.
Tapi menilai karya terkadang akan lebih mengasyikkan jika pendengarnya tak terbingkai oleh informasi silam. Tak hirau sejarah Wanadri, GPL Unpad, maupun pesentuhannya dengan (Trio) Bimbo. Tinggal menyetel lantas sebagai penikmat musik cuma menilai, serasa menghadapi pemain baru, itu lebih asyik — dan jujur.
Denny Sakrie bisa memberikan apreasiasi yang lebih menyeluruh dan bertanggung jawab terhadap album ini. Dia kenal baik musik pop Indonesia zaman lawas.
Bagaimana dengan saya? Album ini, cocok buat selingan, dan sesekali pas untuk perenungan tentang kebersahajaan dan kejujuran di tengah godaan untuk menjadi sok sophisticated. Sebuah tuturan seorang pengelana, tanpa amarah maupun nada menggurui.