Pakaian Muslim, Pakaian Kristen, Pakaian Cina

▒ Lama baca 2 menit

YOU ARE WHAT YOU WEAR. SO?

baju muslim

iklan lebaran saleMungkin sudah lebih dari sepuluh tahunan istilah ini diterima untuk busana pria: baju muslim (atau kemeja muslim).

Saya tak paham sejarah fashion, jadi terkaan saya bisa saja ngawur. Tapi ingatan itulah yang muncul saat membaca iklan Lebaran Sale Java Store di Kompas hari ini: kenapa kemeja muslim?

Ada juga yang menyebut baju muslim sebagai baju koko dan baju gamis. Dari mana akar riwayatnya saya kurang paham. Saya minta maaf jika tak dapat membedakannya, padahal saya pernah punya beberapa, termasuk yang saya beli dari seorang ihwan di masjid kuno di Kebon Jeruk, Kota, Jakarta.

Dalam salah satu bukunya, Pramoedya Ananta Toer pernah berkisah bahwa pada zaman kolonial pakaian Barat disebut “pakaian Kristen”.

Mungkin setelan Kristen adalah seberang dari pakaian kaum pergerakan bersuku Jawa yang berupa beskap dan kain batik. Padahal bisa saja si Jawa berblangkon-beskap-jarik-selop itu Kristen pengikut Kyai Sadrach Suropranoto.

Dulu sekali, waktu saya masih bocah, baju tanpa kerah utuh — ya, sepintas mirip hem untuk tuxedo — itu disebut sebegai “baju cina”, “baju kungfu”, “baju Bruce Lee”, “baju Chen Lung”, dan “baju kerah Shantung”. Adapun sepatu kungfu disebut “sepatu big boss” karena khalayak terkesan oleh film The Big Boss.

Kemiripan “baju muslim” dan “baju cina”, juga “baju india” (dan “baju pakistan”), plus baju barong pilipinas adalah: kerah yang tegak tanpa lipatan ke bawah, longgar, dan tidak dimasukkan ke pantalon. Untuk “baju cina”, misalkan tanpa motif tiongkok, kancingnya kadang berupa palang kain melintang.

Ciri baju serupa juga muncul di toko batik dan… toko branded. Beberapa produk kasual menyediakannya, umumnya berbahan katun. Beberapa di antaranya malah tanpa kerah.

Nama dan penamaan berangkat dari niat menyederhanakan sesuatu. Untuk “baju muslim”, tampaknya bertolak dari pencarian kata untuk dipersandingkan dengan “busana muslimah”. Dalam urusan dagang ini jelas mempermudah.

Penamaan terhadap pakaian juga bisa disengaja untuk maksud politik yang kadang pejoratif. Istilah lawas “kaum sarungan” pada masa lalu ditujukan kepada politisi partai Islam. Padahal sarung (dan peci) bukan hanya pakaian orang Islam. Padahal lagi foto-foto lama Persis justru menunjukkan gaya pemimpinnya yang berbusana Barat.

Entahlah bagaimana kita menyebut gaya busana Abolhassan Bani Sadr pada masa Revolusi Iran: sangat Barat, dan ehm… keren. Dia dulu memang stylish. Kalau Hamid Karzai sih emang khas: perlente, pede dalam gaya nasional. Sedangkan penampilan Ahmadi Nejad itu Barat.

Jangan-jangan pengertian “you are what you wear” bisa melebar ke mana-mana, tergantung pada kesan si penglihat. Bercelana pendek ke kantor, bagi orang tertentu, memberi kesan, “Sok juragan! Emang lu Bob Sadino?” Bagi orang lain, “Kayak babah toko kelontong di kota kecil.” Bagi yang lainnya lagi, “Kesian deh lu, nggak mampu beli celana panjang.” Menurut anaknya, “Papa kerja di tambal ban?”

Padahal persoalan busana (pria) adalah enak dipakai atau tidak, cocok dengan suasana atau tidak, kan?

Tinggalkan Balasan