BOM DAN BOM DALAM PAMERAN KOMPUTER.
Diam manis. Dikepung pagar kayu yang mudah roboh. Tak menolak belaian siapa pun. Namanya Tiban. Mengapa namanya Tiban? Bintara polisi Sutrisno, pawangnya dari “Ka-sembilan” (begitu dia menyebut korpsnya), hanya tersenyum.
Tiban, gukguk anggota K-9 Squad, adalah pengendus handak. Bukan pengendus narkoba. Bukan alat untuk membubarkan kerumunan. Dia ditugasi mengamankan Indocomtech di Balai Sidang Jakarta. Harap maklum, setiap penggelar acara selalu khawatir akan bom.
Tapi malam terakhir pameran Tiban tak tampak. “Sudah pulang,” kata petugas pengamanan. Kedua anak saya kecewa.
Kami masuk ke dalam. Ada saja cara penjual untuk memikat pembeli. Ada yang menugasi manusia jangkung berganjal egrang untuk membagi brosur. Ada yang mempekerjakan dua lelaki yang tubuhnya dicat. Mereka itu kadang berjalan-jalan, kadang hanya diam di stan.
Saya bayangkan, setiap malam, seusai pameran, mereka membersihkan cat dirinya. Paginya mereka kembali dicat, sampai malam. Berdiam diri, ditonton. Bergerak, ditonton. Di toilet pria, seorang bocah mungkin penasaran apakah semua bagian tubuh manusia aneh itu dicat rata.
Selebihnya adalah SPG bening (sayang berstoking), tapi tak seberani SPG dalam pameran otomotif — apalagi bila dibandingkan penjaga stan di pameran luar negeri. Tak ada tato temporer merek dalam tubuh mereka, padahal secara grafis banyak bidang terbuka.
Saya dan anak-anak saya berdiskusi ringan. Misalkan UU-APP berlaku, masih bolehkah nona-nona itu pakai rok mini dan kemben? Sehari sebelumnya saya juga memperbincangkan hal itu dengan istri saya.
Kami menganggap mereka dengan segala penampilannya sebagai pemeriah acara. Dalam pengandaian kami, yang kemudian lebih diingat pengunjung adalah produk, tas gratisan, stiker, dan barang terdiskon.
Sosok para SPG, dalam situasi seperti itu, kadang menjadi generik — sama semua. Kalau hati terpikat, sehingga terus terbayang wajahnya, bahkan setelah pameran usai, itu soal lain ta’ iya?