HALIMUN BUATAN ITU, AMANKAH?
Panas begini paling bagus kalau ada embusan angin. Di Kuala Lumpur (bukan Sidoarjo, tapi Malaysia), ada kipas angin di Taman KLCC, dekat Hotel Mandarin. Semilirnya mengusir gerah. Bagaimana jika taman-taman Jakarta menirunya?
Saya khawatir orang-orang Jakarta takkan memedulikan kipas, bahkan sama sekali tak merasakan semilirnya, karena pagi dipasang malamnya kitiran raib. Ada saja kemungkinan orang tertentu merasa sebagai Dewa Angin yang tak ingin melihat pesaing.
Untuk mengurangi panas, tepatnya panas yang kering, Dunia Fantasi Ancol memasang selang penyembur uap air. Sungguh sebuah niat mulia. Bahwa pada panas yang lembab semburan uap hanya menambah gerah dan lengket, itu soal lain.
Intinya, selalu ada cara untuk mendinginkan badan yang kepanasan. Tapi saya tak tahu, apakah semburan uap atas nama seni dan suasana itu bagus untuk kesehatan.
Di Surabaya ada kafe kaki lima pentas jazz di pelataran hotel. Ada penyembur uap di pagar halaman penyekat trotoar. Sinar oncor mempermanis suasana. Saya teringat teman saya yang mengidap paru-paru basah. Mungkin saja ia tak berani ke sana.
Di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat, ada kedai roti isi. Di sana ada penyembur uap, di gerbang dan pagar. Malah yang di pojok pagar semburan uapnya disebarkan oleh kipas angin. Hasilnya adalah halimun. Dengan bantuan lampu jadi tambah nyeni. Lagi-lagi saya membatin, amankah halimun buatan itu bagi orang bengek yang memilih mengudap di teras?
Saya memang ndesit. Gini aja ditanyain. Yah namanya juga ingin tahu kan? Tentu jawabannya bukanlah, “Udah tau bengek masih keluar malem, entar malah dapet tetek (yang) bengek.”
Saya teringat kotak pendingin berlistrik yang diisi air. Kata beberapa orang — kecuali penjualnya — itu tak bagus untuk paru-paru.
Saya juga teringat pesan Bang Haji ketika dia masih menjadi Oma (bukan Opa): “…bila sering kena angin malam segala penyakit akan mudah datang…”
Terbayang bagaimana bahayanya halimun buatan, yang mengambang di luar ruang tapi titik airnya diisi asap rokok.