Penyanyinya, bukan Lagunya

▒ Lama baca 2 menit

KITA KADANG TERPUKAU OLEH SIAPA, BUKAN APA. BAGAIMANA DENGAN BLOG?

Dua fotografer kondang menganggap pencantuman nama pewarta foto dalam karya akan membantu penilaian. Sebagai juri mereka akan lebih terbantu untuk memahami apalah sebuah sudut bidik itu sengaja atau bukan.

Maaf, itu tadi penyimpulan yang bisa saja salah. Saya membacanya dalam sebuah milis. Salah satu posting mengungkapkan rencana penjurian sejumlah karya jurnalistik. Di ada sana cuplikan kalimat yang tak saya pahami latarnya secara utuh, sehingga bisa saja saya salah tafsir.

Tentu, dua juri bereputasi bagus itu tak hendak mengatakan bahwa nama pewarta foto menentukan perolehan nilai. Saya memercayai profesionalisme mereka.

Tapi saya membatin, enak bener ya kalau punya nama, lebih banyak pintu terbuka untuk mereka. Ini seperti ungkapan bersungut saya kepada teman saya yang penggiat jaringan kerja seni rupa. Perupa tenar boleh ngapain saja atas nama seni kontemporer, tapi orang lain tidak.

Kalau cuma main bungkus dan ikat, lantas karya ditaruh di tempat bagus, dengan pencahayaan bagus, plus katalog bagus, saya juga bisa — padahal saya tak bisa menggambar dan belum pernah sekolah seni rupa.

Teman saya secara santai bilang, “Masalahnya kamu itu siapa?” Kami terbahak bersama.

Memang, masalahnya adalah siapa, bukan apa. Apalagi kalau si “siapa” menyertakan penjelasan konseptual yang memukau.

Adil? Tak adil? Seorang mahasiswa bisa saja bikin artikel bagus, bernalar, dan memukau. Tapi karena jumlah halaman terbatas, editor koran/majalah lebih memilih penulis topik yang sama, yang isinya mungkin belum matang, tapi namanya lebih tenar.

Bisa saja kita mendengingkan kaleng dalam gedung konser dan menyatakan itu sebagai musik. Tapi hak orang lain untuk menagih apakah kita paham teori musik, melek partitur, dan bisa memainkan instrumen yang lumrah dengan benar.

Seorang sastrawan dan eseis pernah bilang, “Tulisan saya dulu juga sering ditolak. Capek.” Tapi ada tambahannya, “Orang-orang nggak tahu, sekarang pun tulisan saya kadang masih ditolak.”

Sungguh ungkapan yang membesarkan hati. Di dunia blog ini saya sering mendapati tulisan bagus, foto bagus, dan desain grafis bagus, karya orang-orang yang tak tenar — atau mungkin tenar tapi menyamar.

Bahwa sebagian dari mereka akhirnya tenar, setidaknya di kalangan bloggers, itu soal lain.

Tentu orang yang skeptis bisa mengritisi secara tepat, “Emang kalo blogger tenar itu jaminan tulisannya bagus? Jangan-jangan cuma kentut dalam wujud kata! Ini soal dia dan blognya kadung punya nama, dan ada satu dua bloggers yang pingin meninggalkan jejak promosional buat blognya.”

Orang sinis adalah pembawa lampu senter. Tapi terang sinarnya kadang tak menyenangkan bagi orang lain karena menyorot sudut-sudut ruang yang tak diinginkan terlihat. Sudut-sudut yang sudah diketahui bersama, bahkan dimaklumi (dan dimaafkan) bersama.

Selamat berakhir pekan. Boleh dong sesekali bikin renungan.

Tinggalkan Balasan