KITA TAK TAHU APA SAJA IMPIAN PARA CALON GUBERNUR DKI.
Aneh, kawasan bisnis Jakarta tak selamanya ramai bahkan pada jam kerja. Hanya pagi, siang jam makan, dan sore bubaran kantor trotoarnya terisi banyak manusia. Lihatlah di ruas tertentu segitiga emas Ibu Kota. Terutama di Jalan Gatot Subroto dan Jalan H.R. Rasuna Said. Halte sepi penunggu. Kalau di Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin sih masih ada pelintas berjalan kaki.
Tapi tak berarti jalan aspalnya sepi pelintas. Ada kalanya malah macet. Bahkan suatu sore, saat Jembatan Semanggi ramai mobil, seorang fotografer ditodong tiga orang. Kamera dan lensa melayang. Tak ada pelintas selain mereka di jalur pejalan kaki itu.
Ngapain jalan? Panas. Begitu kata banyak orang. Memang benar. Panas. Saya juga tak mau berpanas-panas biarpun sudah bertopi untuk melindungi kepala turbo. Peneduh tak banyak. Trotoar tak menyatu dengan pelataran gedung-gedung tinggi.
Aneh, beberapa kali saya menjumpai orang bule, masih berdasi, berjalan di trotoar dengan mencangking jas terlipat. Ada yang menunggu taksi, ada yang menuju tempat terdekat.
Saya pernah bertemu seorang CEO asing. Dari Hotel Mulia tempatnya menginap ke Plaza Senayan dia berjalan kaki. Dia heran mengapa orang lokal mengherani tindakannya.
Yang tak dianggap aneh adalah bos-bos Indonesia. Untuk makan siang di gedung seberang, tak persis di depan sih, mereka bermobil, menjangkau putaran terdekat, hingga menempuh jarak dua kali 400 meter bahkan lebih.
Calon gubernur (atau gupernur?) DKI, siapapun orangnya, mestinya sejak awal punya impian tentang Jakarta yang aman dan nyaman. Aman karena tak banyak copet, penodong, dan penebar ranjau paku. Nyaman karena jalan kaki bisa menjadi kegiatan yang wajar.
Ingin membebaskan Jakarta dari narkoba sih harus. Tapi jalanan harus tetap, ya itu tadi, membuktikan slogan impian: aman dan nyaman.