Persoalannya bukan apakah kita bisa terbebas dari ponsel

Jika tak sanggup kembali ke feature phones, dapatkah kita perlakukan smartphones sebagai ponsel biasa?

▒ Lama baca < 1 menit

Perempuan asyik dengan ponsel di kedai Tanabambu, Nagrak, Gunung Putri, Bogor, Jabar — Blogombal.com

Sebagian orang ingin menyepi sejenak, menjauhi keriuhan kor sumbang kanon puluhan suara bersahutan saling menyusul dari knalpot kendaraan mesin bakar, lalu masing-masing dari mereka menghadirkan diri di antara rumpun bambu, di atas tanah bergeronjal yang tertutup dedaunan kering, tetapi nyatanya tak dapat lepas dari ponsel. Ya, ponsel cerdas.

Memang selalu menjadi tanya berselaput canda: siapa yang smart, kita ataukah si gawai? Kebanyakan dari kita merasa sudah cerdas dalam berponsel, namun itu pun disertai keluhan masih sering kewalahan. Lalu semburat tersipu memancar sebentar saat menatap laporan screentime dari ponsel.

Tercatat di sana aplikasi apa saja yang menghamba kepada kita, sebuah sebutan nan gagah karena kita enggan mengakui kepada aplikasi apa saja justru kitalah yang menghamba.

Hanya sedikit orang yang beruntung, ponselnya hanya digunakan untuk berkomunikasi seperlunya, secukupnya, karena ajudan dan staf mengurusi banyak hal untuknya, termasuk meneleponkan orang. Mau pergi tinggal berangkat. Karena pesawat dan hotel sudah ada yang menguruskan. Pergerakan bursa saham biar diurus manajer investasi.

Dari sedikit orang itu ada juga yang bukan orang makmur, bukan orang penting, karena ponsel cerdasnya tak melekat dengan akun media sosial maupun pelantar perpesanan, antara lain untuk menghemat pulsa dan kuota — juga: agar tak perlu membelitkan diri dalam aneka gibah. Sebagian lagi adalah pengguna ponsel biasa, feature phones, karena pilihan sadar maupun terpaksa.

Terkabarkan pekan ini, sebagian generasi Z mulai tertarik ponsel biasa, sebagaimana dilaporkan CNBC Indonesia yang merujuk media induknya di Amerika. Kompeni HMD disebut memetik manfaat. HMD mungkin nama asing, namun jenama itulah yang mendapatkan lisensi dari Nokia untuk membuat dan menjual ponsel baru jenis biasa. Harga ponselnya dalam rentang Rp275.000 – Rp515.000.

Saya mencoba becermin diri: jika saya hanya punya satu ponsel, sanggupkah dengan ponsel biasa yang tombolnya bukan QWERTY, berupa tonjolan fisik, dan tak dapat melakukan hal lain seperti ponsel cerdas, dari memesan air galon, elpiji, hingga tiket perjalanan dan penginapan?

Ponsel biasa mungkin lebih jinak, tak seperti ponsel cerdas yang membenamkan kita dalam ketidakjelasan: siapakah yang sesungguhnya harus dijinakkan, diri kita ataukah si gawai? Siapakah yang mestinya lebih pandai, kita ataukah si ponsel? Siapakah yang mestinya boleh disebut pandir, kita ataukah si alat?

Selamat berakhir pekan dan menikmati waktu pribadi, dengan ponsel seperlunya, secukupnya, kalau perlu malah mematikannya.

Tinggalkan Balasan