Hampir selalu, atau malah memang selalu, dalam setiap pengusutan kasus korupsi ada penyitaan mobil mewah. Ukuran mewah itu harganya Rp1 miliar ke atas, jauh di atas mobil kebanggaan nasional Esemka versi pikap yang Rp135 juta. Memang sih, itu mobil barang, tetapi baknya boleh mengangkut tokoh yang mempersembahkan hidupnya untuk mobil itu, yang versi kendaraan penumpang.
Koruptor dan kendaraan mewah, itulah yang melekat dalam benak khalayak. Menyangkut sepeda Brompton saat harganya meroket karena sedang mendemam, sepeda motor Ducati maupun Harley-Davidson, hingga mobil apa saja terserah. Kapsi foto berita tunggal dalam Kompas hari ini (Kamis, 2/10/2025):
Mobil mewah Nissan GT-R, yang disita terkait operasi tangkap tangan dugaan kasus pemerasan pengurusan sertifikasi K3 di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan, diangkut di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi Jakarta untuk dipindahkan ke Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara KPK, Rabu (1/10/2025). Dalam kasus ini, KPK telah menyita 25 mobil dan 7 sepeda motor yang diduga hasil tindakan pemerasan itu. Kasus ini menyeret bekas Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer. Total pemerasan sekitar Rp 81 miliar.
Lalu mengapa koruptor suka kendaraan mewah, padahal tak setiap hari mereka naiki? Psikolog dapat menjelaskan.
Nah, sebelum kita mendapatkan penjelasan psikologis, saya menduga para koruptor, terutama pria, memanjakan hasrat sebagai big boys terhadap big toys. Apa pun yang menjadi impian mereka saat bocah hingga remaja akhirnya beroleh saluran setelah memiliki uang haram dengan jalan pintas.
Pengusaha yang mencari uang dengan benar, setelah punya uang banyak tak semuanya langsung membeli mobil mahal di luar kewajaran. Misalnya Porsche dan Ferrari maupun Rolls Royce. Konglomerat sepuh mampu membeli mobil sport termahal namun tak melakukan karena hal itu bagi mereka tak wajar.
Adapun koruptor, karena duit mereka dapatkan dengan mudah, cenderung kemaruk. Apa pun yang menjadi impian akan mereka wujudkan. Jika mereka adalah ASN, penyelenggara negara, eksekutif BUMN, bagian dari aparat keamanan, atau apalah pokoknya sekaum, mereka bisa lupa diri bahwa kepemilikan barang mahal yang melebihi gaji itu mengundang tanya. Artinya, arloji sampai sepatu dan baju pun termasuk.
Ya, mengundang tanya namun banyak orang memaklumi, tak mempersoalkan secara terbuka, bahkan misalnya pun tersedia layanan aduan di KPK dan Ditjen Pajak, mereka diam. Kenapa? Ogah dianggap dengki.
Maka lihatlah berita, di negeri-negeri miskin pun para koruptor dan keluarganya tak sungkan memamerkan kemewahan. Sementara di negeri-negeri sejahtera, dengan tingkat korupsi rendah, dan aturan pajaknya jelas, ASN dan pejabat publik mereka tidak pamer harta yang melebihi pendapatan.
Memang, ini soal mental kéré, atau malah kirik, munggah balé. Di Indonesia, coba lihat di media sosial, berapa banyak orang dari kalangan old money yang suka pamer? Mereka tak memerlukan validasi sosial.
3 Comments
Kalau saya punya buanyak duit, hasil bekerja, bukan hasil korupsi, yang akan saya beli bukan mobil mewah (pun tak mewah), tapi tril tua ini:
https://motocrossactionmag.com/classic-motocross-iron-1976-yamaha-tt500-four-stroke/
Ooo trail Lik Jun niru ini to modelnya. 👍😇
Kalo saya kayaknya nggak akan beli barang aneh-aneh
Barang aneh-aneh🙈