Artikel opini ini sopan, padahal menurut saya memperolok pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang tingkat keracunan MBG yang cuma 0,00017 persen.
Editor Kompas Ahmad Arif hari ini (Rabu, 1/10/2025) menulis kolom Catatan Iptek di laman Humaniora, menyoal 0,00017 persen itu dengan tajuk “Di Balik Statistik Keracunan MBG.”
Ahmad menyentil, berapa nilai absolut dari 0,00017 persen itu? Jika dihitung dari 30 juta penerima seperti yang disampaikannya, itu setara sekitar 51 kasus. Kalau dihitung dari 1 miliar porsi makanan yang dibagikan berarti 1.700 kasus.
Maka dia bertanya, “Apakah Presiden salah hitung atau tidak mendapatkan informasi akurat? Badan Gizi Nasional menyatakan, dari Januari hingga 22 September, terjadi 4.711 anak keracunan.”
Berikut ini sebagian poin tulisannya:
- Trik pertama berupa false precision: angka 0,00017 persen terdengar sangat persis, seakan pemerintah punya data rapi, terverifikasi, dan akurat, padahal presisi tidak sama dengan akurasi
- Metode penghitungannya tak disebutkan: kasus dihitung berdasarkan laporan siapa, lalu bagaimana dengan kasus yang tak terlaporkan? Masalah kesehatan dan keracunan yang terdata umumnya berupa puncak gunung es
- Trik kedua: memilih persentase dibanding angka absolut, karena statistik relatif sering dipakai untuk mengecilkan masalah, sehingga angka 0,00017 persen memberi kesan kecil
- Dalam isu keamanan pangan, angka absolut jauh lebih etis karena satu anak keracunan di sekolah saja sudah serius — apalagi jika jumlahnya ribuan, itu tanda kegagalan sistem
- Trik ketiga berupa permainan denominator, karena menghitung persentase membutuhkan dua hal, yakni numerator (jumlah kasus) dan denominator (jumlah populasi atau kejadian total) — masalahnya denominator yang dipakai pemerintah tidak jelas, apakah itu jumlah penerima manfaat, jumlah porsi makanan, atau jumlah distribusi paket?
- Dengan bermain statistik seperti ini, kita akan mengabaikan banyak hal penting, mulai jumlah sesungguhnya kasus, tingkat keparahan, hingga berapa banyak anak yang mengalami trauma — celakanya persentase tak menjawab itu
- Selain itu, sebaran kasus juga menjadi sulit terlihat dengan baik: apakah ribuan kasus ini tersebar tipis atau terkonsentrasi pada vendor tertentu? Jika tersebar luas dan berulang, berarti ada masalah sistemik yang harus segera ditangani di pihak vendor
Ahmad mengingatkan:
Namun program bagus akan runtuh bila eksekusinya buruk. Dalam logika kesehatan publik, setiap insiden keracunan pada anak sekolah adalah kegagalan serius.
Satu anak saja seharusnya jadi alarm. Ribuan anak adalah sirene keras. Kita tidak butuh statistik yang menutupi persoalan. Kita butuh sistem yang benar-benar aman dan tidak dikorupsi.
Siapa pun boleh tak sependapat dengan Ahmad, kemudian menyanggahnya. Bagi saya ada hal yang lebih penting: sudah sepatutnya media berita menunjukkan posisinya secara kritis, tak hanya larut dalam pacuan berita sela (breaking news) tanpa memberikan perspektif kepada konsumen informasi, eh maksud saya pembaca.
Mungkin ada yang berpendapat apakah media harus begitu, karena tafsir dan perspektif terhadap suatu isu dari warganet bertebaran di media sosial?
Kini bukan lagi zamannya redaksi terlalu serius, sampai membuat konten yang tak menambah trafik. Lebih hemat tenaga dan menghibur jika media menghadirkan tontonan debat di YouTube — media tetap menjadi medium, yakni perantara. Jangan meminta khalayak membaca. Bukankah begitu, bukan?
Oh, baiklah.
2 Comments
Kira-kira kalau ada wartawan spontan nyeletuk, “Kalau cuma nol koma nol nol nol sekian, ya udah, Bapak aja yang makan,” itu gimana yak?
Kartu liputan istana akan dicabut selamanya, dan mungkin si jurnalis akan raib.