Saat membaca artikel opini Taufik Ahmad, peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, BRIN, di Kompas hari ini (Selasa, 30/9/2024), saya tergamit rasa ingin tahu, bagaimana judul-judul berita media hari ini? Ternyata ada yang masih memakai G30S/PKI dengan sekian varian penulisan. Saya tak mencari tahu bagaimana di media sosial.
Tragedi 1965 setelah peristiwa 30 September tahun itu terlalu rumit. Babak sejarah memang bisa berupa simpul sekian koinsidensi, tak mudah menempatkan suatu pihak sebagai aktor utama.
Katalog Film Indonesia memuat sinopsis film Pengkhianatan G-30-S PKI (Arifin C. Noer, 1982) begini:
Sebuah dokudrama yang dibuat dengan sangat detil dan meyakinkan dari sudut pandang tertentu. Kisahnya persis seperti kisah “resmi” mengenai peristiwa kudeta seputar 30 September 1965 yang dilakukan oleh Kol. Untung, Komandan Batalyon Cakrabirawa. Tujuh jendral terbunuh. Tampil Mayjen Soeharto sebagai penyelamat.
Akan tetapi judul poster film produksi PPFN itu lebih panjang: Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI. Wikipedia Indonesia menggunakan judul tersebut.

Penamaan khusus terhadap suatu peristiwa oleh penguasa adalah untuk mengonstruksikan pikiran publik — sebetulnya partikelir juga, untuk branding. Tiga dasawarsa benak masyarakat Indonesia diisi kata sakti “G30S/PKI”. Lalu setelah Reformasi 1998 sejarah dibedah bersama, tak ada lagi tafsir tunggal. Sebagian masyarakat sipil tak menambahkan label PKI karena peristiwa itu simpang siur, apalagi akibat setelah itu menjadi tragedi kemanusiaan.
Seorang cewek yang mengalami masa bersekolah di suatu SMA swasta khusus perempuan, di Jakarta, pada 2007–2010, bercerita kepada saya bahwa guru sejarahnya mengingatkan murid dalam menulis dan menjawab ulangan agar tak menambahkan kata PKI.
Saya membatin, jika itu dilakukan pada masa Orde Baru si guru bisa dicap komunis, tidak bersih lingkungan. Di SMA tersebut guru IPS selalu mengajak murid di kelas mendiskusikan berita utama koran hari itu. Maka anak-anak membawa koran.
Oh sayang, di SMA saya dulu tak ada guru macam itu. Guru civics atau kewarganegaraan mengelak jawab saat saya bertanya kenapa Golkar yang bukan partai ikut pemilu dan punya kursi di DPR, malah militer pun punya kursi di parlemen. Dia menjawab, “Yah, untuk bahan renungan bersama.” Mestinya dia menjadi pendamping retret siswa: ada khalwat atawa kontemplasi di sana.