Dua hari lalu (Rabu, 23/9/2025) Kompas memuat foto berita tunggal tentang antrean warga Surabaya untuk membeli telur ayam lebih murah, dalam warta singkat bertajuk “Antre Pangan Murah” .
Kapsi foto karya Bahana Patria Gupta itu bertutur:
Warga mengantre membeli telur yang dijual Rp 23.000 per kilogram saat Gerakan Pangan Murah (GPM) di Taman 10 November, Surabaya, Selasa (23/9/2025). Bulog Jawa Timur menyalurkan 2.491 ton beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), 10.526 liter minyak, dan 3.285 kg gula untuk kegiatan GPM yang digelar serentak di seluruh Jawa Timur.
Laporan berkisah
Saat itu yang dijual di lokasi pasar murah memang bukan hanya telur. Sehari sebelumnya (Selasa, 22/9/2025), dalam versi web dan aplikasi Kompas sudah menulis panjang, mewawancarai pengantre dan pihak berwenang, disertai beberapa foto, tentang kebutuhan warga akan telur. Judulnya: “Antre Dua Jam untuk Satu Kilogram Telur“.
Foto yang dipilih versi koran, hanya sebuah, sungguh kuat. Seorang perempuan berkaki satu, yang berpenopang sepasang tongkat lengan, berjalan melawan arus antrean nan mengular. Perempuan itu sudah selesai mengantre, sebagian mata pengantre lain menatapnya.
Saya tak tahu apa yang ada dalam tas plastik perempuan itu. Tampaknya bukan telur. Tetapi misalnya telur, satu kilogram pula, saya membayangkan membawa telur dalam kantong keresek itu tak mudah, karena wadah akan terayun, telurnya akan bersenggolan, bisa membentur tongkat. Saya pernah ke warung membeli telur, lalu sepeda saya pulangkan ke rumah bersama belanjaan kecil lain, dan akhirnya saya berjalan kaki, kembali ke warung membawa tas lengan untuk mengambil telur. Harus berhati-hati.
Benarkah warga mengantre sampai dua jam di bawah sinar mentari yang membakar? Poin laporan Kompas itu antara lain menyatakan:
- “Saya sudah datang dari pukul 07.00, antrean sudah memanjang seperti ini. Infonya dibuka pukul 08.00, tapi ini sudah lewat belum dibuka juga, gimana sih panitia?” kata Erma Yunita
- Laporan menyebutkan, “Namun, pagi itu bukan hari yang mudah bagi para ibu yang antre telur. Cuaca panas dan tidak ada kepastian kapan diperbolehkan membeli membuat banyak dari mereka yang antre, khususnya di bagian belakang, menyerah dan pulang.”
- Salah satu warga, Wagimah (66), yang berada di bagian depan antrean akhirnya dipersilakan duduk di luar barisan oleh pengantre lainnya
- Baru pada pukul 09.20, acara peresmian GPM Serentak Jatim usai dilakukan Menteri Pertanian Amran Sulaiman
- Banyak pengantre kecewa karena harga telur Rp23.000/kg, padahal dalam pengumuman di media sosial Rp22.000/kg, namun petugas berdalih itu harga di lokasi lain
Ada hal yang menyentak saya dalam soal perbedaan harga telur dari laporan tersebut:
“Jika tidak mau, ya sudah tidak usah beli,” ujar seorang petugas. “Ya ampun Mbak, masa sudah antre berjam-jam tidak jadi beli,” ujar seorang warga dengan ketus.
Selera old skool
Ya, saya wong lawas, sejak kecil belum bisa membaca sudah akrab dengan kertas tercetak, berupa selebaran, buku, majalah, dan koran. Itu suatu hal yang jamak di kalangan orang sezaman. Dalam terminologi yang kini tak laku saya adalah imigran digital, dengan tambahan bumbu personal saya mengalami masa bocah bersama “Immigrant Song” Led Zeppelin kesukaan kangmas mbarep saya.
Maka saya hingga kini, di tengah abad informasi digital serbalekas dan tergesa, masih menghargai foto jurnalistik dan laporan berkisah (feature). Dua jenis sajian jurnalistik itu menjadi oase di tengah serbuan warta ringkas dan cepat. Memang sih straight news atau breaking news tetap lebih kaya daripada isi telegram zaman dulu dengan biaya kirim per kata.
Untunglah berita olahraga masih banyak menyajikan foto bagus dan cara bertutur memikat, kadang tak tabu menyisipkan pandangan bahkan penghakiman sang pewarta yang menempatkan diri sebagai kolumnis atau kritikus. Sama seperti laporan berita pameran dan pertunjukan seni. Praktik jurnalistik menenggang hal itu.
Entah sudah berapa kali, saya lupa, membahas foto jurnalistik di blog wagu ini. Saya tahu banyak media daring kurang tertarik foto jurnalistik yang kuat hasil jepretan sendiri karena harus mengejar waktu dan target volume berita harian.
Dalam situasi bisnis media macam itu, foto jurnalistik dan konsekuensinya pada kelayakan pewarta foto serta peralatannya adalah pos biaya yang tak menyumbang trafik maupun apresiasi. Pembaca yang tergesa juga tak butuh foto bagus maupun berita berkisah.
Walakin demikian saya sejak dulu punya kritik terhadap Kompas dalam hal bahasa, yakni pengutipan langsung. Editor selalu menyunting tuturan lisan narasumber menjadi bahasa baku. Ini sama saja menyangkal bahwa tuturan lisan keseharian dan tertulis dalam bahasa Indonesia itu berbeda.
Coba Anda perhatikan comotan verbatim, apa adanya, dari laporan Kompas dalam pos ini: “jika tidak mau” (ah, masa dia bilang begitu?) dan “pukul” (bukan jam).
Untuk laporan ini ada info yang kurang tesertakan: harga telur di luar pasar murah saat itu di Surabaya. Saat saya menulis ini, harga telur ayam di area saya, Pondokgede, Rp28.000 (warung tetangga) – Rp31.900 (aplikasi Astro, bebas ongkir).