Ortu harus diam kalau anaknya keracunan MBG

Mari belajar dari Brebes, tanah berambang yang bikin mbrebes mili* karena geli.

▒ Lama baca 2 menit

Surat kesepakatan: Ortu harus diam kalau anaknya keracunan MBG — Blogombal.com

Hari ini saya masih memikirkan sebuah surat yang aneh, dari kehebohan pekan lalu. Orangtua murid harus menandatangani pernyataan menerima/tidak menerima (coret yang tidak perlu) MBG untuk anaknya dengan syarat untuk tak akan tidak akan menuntut secara hukum pihak sekolah dan lainnya.

Isi surat tersebut:


Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama Orang Tua/Wali:

Nama Siswa:

Kelas:

Alamat:

Dengan ini menyatakan bahwa saya menyetujui dan bersedia/tidak bersedia anak saya mengikuti Program Makan Bergizi Gratis yang diselenggarakan oleh Pemda MBG Kecamatan Brebes yang berada di wilayah Pasarbatang yang telah disosialisasikan di MTs Negeri 2 Brebes.

Saya memahami bahwa makanan telah disiapkan sesuai standar kebersihan dan kesehatan yang berlaku. Saya juga menyadari serta bersedia menanggung risiko yang mungkin timbul di kemudian hari, antara lain:

1. Terjadinya gangguan pencernaan (misalnya sakit perut, diare, mual).

2. Reaksi alergi terhadap bahan makanan tertentu yang mungkin tidak teridentifikasi sebelumnya

3. Kontaminasi ringan terhadap makanan akibat faktor lingkungan atau distribusi

4. Ketidakcocokan makanan dengan kondisi kesehatan pribadi anak,

5. Keracunan makanan yang disebabkan oleh faktor di luar kendali pihak sekolah/panitia (misalnya proses pengiriman atau kelalaian pihak ketiga).

6. Bersedia membayar ganti rugi sebesar Rp. 80.000,- jika tempat makan rusak atau hilang.

Sehubungan dengan hal tersebut, saya tidak akan menuntut secara hukum pihak sekolah maupun panitia penyelenggara apabila terjadi hal-hal tersebut selama pihak penyelenggara telah menjalankan prosedur sesuai standar yang berlaku.

Kasus sudah dianggap selesai. Kenapa saya angkat? Saya khawatir akan terulang, bisa dalam bentuk lain. Intinya agar penerima MBG jangan rewel. Juga akan terulang untuk hal di luar MBG. Kalau tak ada protes dari masyarakat berarti cincai.

Saya teringat sengketa hukum dalam kasus sepeda motor hilang di tempat parkir. Pengelola parkir berkukuh pihaknya hanya menyewakan ruang untuk memarkir, bukan melayani jasa penitipan dan penjagaan kendaraan. Kalau motor hilang itu risiko pemarkir.

Dulu pada era fotografi analog, pemilik jasa cuci film dan cetak foto tak bertanggung jawab jika rol film yang mereka tangani raib.

Ya itu, klausul sepihak. Tanpa kesepakatan tertulis. Konsumen dianggap sudah setuju. Dalam kasus surat MBG ini ada keinginan pembuat surat agar tercapai kesepakatan penyedia makanan dan ortu murid. Mirip syarat dan ketentuan dalam layanan digital, termasuk aplikasi ponsel, harus ada OK dari pengguna untuk semua poin.

Saya melihat ada siasat penyedia MBG untuk menghindari tanggung jawab. Mungkin dalam kasus yang akan datang surat akan direvisi dengan tambahan kesanggupan ortu tak akan mengunggah foto dan video makanan MBG ke media sosial, serta mengawasi anaknya agar tak melakukan hal itu.

Pihak Badan Gizi Nasional Brebes berkilah itu bukan kebijakan, yang tidak bestari, dari pihaknya, melainkan dari MTsN setempat yang posisinya di bawah Kantor Kementerian Agama Brebes. Jika muncul masalah, pihaknya tak melepas tangan (¬ Antara, 17/8/2025).

Lalu pihak kantor Kemenag dan MTsN berdalih yang intinya tak mau dipersalahkan, kemudian masalah berakhir, untuk dilupakan, karena dalam surat yang tertulis jelas dan tertata itu tak memaksudkan seperti yang ditentang masyarakat.

Ini khas gaya birokrasi. Kilah klasik birokrasi adalah yang terjadi hanyalah kesalahpahaman dalam koordinasi. Entah siapa yang salah, siapa pula yang paham. Pokoknya surat sudah dicabut, tak berlaku lagi (¬ Media Indonesia, 18/9/2025). Mari menatap ke depan, jangan melirik kaca spion seperti orang nggak move on, demikian rumus favorit pemerintah dalam memperlakukan sejarah.

Kalau tak menjadi heboh, surat akan tetap berlaku. Surat ini tidak adil. Pembuat surat pasti paham bahwa lawan kata adil adalah zalim.

Begitulah, yang di atas punya sabda, pokoknya harus sukses, dan yang di bawah mencari celah penyelamatan diri karena merekalah yang berhadapan langsung dengan masyarakat.

Rakyat harus memaklumi dengan tahu diri. Sungguh sebuah seni menjalani hidup di negeri nan ajaib penuh hihihi…

*) Mbrebes mili, bahasa Jawa, artinya berurai air mata

Tinggalkan Balasan