
Bedah plastik eh plastis makin diterima luas. Setiap orang ingin memperbaiki tampilan diri yang tanpa cacat fisik justru sebagai bentuk mensyukuri karunia. Hal baik harus dirawat, kalau bisa ditingkatkan. Itulah yang saya batin saat pekan lalu membaca laporan Kompas (Kamis, 18/9/2025) perihal Taliban di Afghanistan membiarkan praktik bedah kosmetik di sana.
Didukung oleh foto Wakil Koshar dari AFP, berita berkisah nan ringan itu menarik. Lho bukannya Taliban menutup salon kecantikan? Layanan bedah kosmetik dibiarkan karena dilakukan atas nama klinik kesehatan, dan dilakukan oleh dokter. Yang penting klien pria dan perempuan dipisahkan.

Tak hanya perempuan berduit yang menyukai layanan itu, karena pria beruang pun melakukannya, untuk tanam rambut, di kepala dan terutama kumis, cabang, dan jenggot. Pria berewok dianggap lebih melelaki. Apalagi Taliban mewajibkan laki-laki memiliki berewok, minimal sepanjang kepalan tangan
Laporan tersebut menyatakan, “Biaya tanam rambut tergantung dari jumlah folikel yang dicangkokkan ke area botak. Akan tetapi, umumnya memakan biaya 20.000-60.000 afghani (Rp 4,8 juta hingga Rp 14,6 juta).”

Tentu layanan bedah plastis juga diperlukan oleh korban kekerasan dan konflik bersejanta setelah wajah mereka rusak. Tentang bedah kosmetik memang bisa menjadi pro-kontra di kalangan pemeluk agama.
- Salon kecantikan: Afganistan Taliban dan Arab Saudi | Taliban menutup salon. Enam puluh ribu perempuan pekerja kehilangan nafkah. Nun di Arab Saudi, salon tak diharamkan.
—