Apakah pejabat harus tampil dalam diskusi di kampus?

Yani Biryani menelepon Kamso, “Itu siapa, anak cewek Zulkufli Hasan, kok ngeselin? Nggak menghargai Unpad! Eh ya, namanya Zita atau Anjani gitu.”

“Dia udah minta maaf, jadwalnya padat. Soal posting lagi ngegym di Instagram padahal dia ditunggu di Unpad, dia bilang itu posting foto telat,” jawab Kamso.

“Tapi dia kan udah sanggup tiga bulan sebelumnya. Malah minta disediain teleprompter segala, minta daftar nama hadirin, dan kasih syarat nggak ada tanya jawab dalam diskusi. Eh, sampe hari H nggak nongol. Huh, mentang-mentang stafsus presiden bidang pariwisata ya, Oom.”

“Hmmm…”

“Itu anak nggak bisa manage waktu, atau emang nggak paham tata krama?”

“Hmmm… Aku tahu namanya gara-gara kasus di Unpad.”

“Lagian ngapain minta teleprompter segala? Pake tab isinya pointers juga bisa. Takut gagap baca kertas kayak menteri cewek siapa itu kali, ya? Jadi pejabat, tamatan luar negeri pula, kok nggak bisa public speaking, nggak paham public speech. Eh apa ya bedanya, Oom? Nggak usah cari tahu gimana dulu Steve Jobs latihan keras buat presentasi MacBook Air. Liat aja di YouTube gimana Rhenald Kasali, Dokter Tirta, dan Ferry Irwandi bermonolog dengan argumentatif.”

“Hmmmm…”

“Halah, cuma hamhem aja Oom Kam ini! Apa pejabat harus hadir dalam diskusi di kampus? Unfaedah kalo nggak nguasai masalah. Kalo yang bikin materi itu stafnya, mungkin pake AI berbayar, tapi di acara si pejabat bakal keliatan mutunya, apalagi kalo ada tanya jawab!”

“Ya terserah pengundang. Kalo emang dianggap relevan, sebagai keynote speaker maupun pembicara, kenapa nggak diundang? Justru dalam diskusi di kampus kualitas dia keliatan. Kalo jeblok ya tamat. Kampus lain juga ogah ngundang.”

“Oom Kam nyindir pejabat lain lagi kayaknya ya, yang juga diorbitkan sama bokapnya?”

“Lho aku lagi mau bahas sepiker pasif kecil, yang bookshelf. Ada yang bagus, ada yang cempreng. Kalo ampli kegedean power, sepiker bisa mbrebet lalu robek.”