Membayangkan kemarau basah dalam kelas

Alangkah menyenangkan jika punya guru pintar dan piawai bercerita apa saja.

▒ Lama baca 2 menit

Membayangkan kemarau basah dalam kelas — Blogombal.com

Bagaimana cuaca hari ini, hadapilah dengan tersenyum. Itulah pesan nonverbal BMKG dalam ilustrasi artikel yang menjelaskan musim kemarau basah, Mei lalu. Mungkin BMKG mencoba mengurangi kesan serius dalam membahas cuaca dan iklim sehingga memasang ilustrasi seperti cerita untuk anak.

Sayang, cara bertutur dalam teks kurang nyaman bagi anak-anak. Tak seperti cara majalah Bobo menjelaskan aneka hal yang berhubungan dengan sains.

Menulis untuk anak-anak itu sulit. Salah satu penulis cerita anak yang tersohor adalah Dwianto Setyawan (1949–2024), pengarang Sersan Grung-Grung, kakak dari Romo Sindhunata yang juga sastrawan.

Membayangkan kemarau basah dalam kelas — Blogombal.com

Bagaimana jika BMKG membuat situs edukatif untuk anak? Bisa. Dinas Intelijen CIA di Amerika Serikat sejak dulu memiliki situs untuk anak, remaja, dan keluarga. Namanya kini Spy Kids. Memang sih, klimatologi dan intelijen itu berbeda. Namun keduanya membutuhkan komunikasi publik.

Tiga hari lalu, sehabis hujan pagi, saya memotret tetesan air sebagai jejak hujan pada bingkai segitiga gantung untuk pot. Setelah itu saya lupa. Tadi saat menyiangi gambar di ponsel saya temukan foto itu, dan saya melamun. Soal pendidikan. Saya membayangkan jadi anak SD tetapi bukan dalam usia sekarang.

Perihal cuaca, dalam hal ini musim kemarau basah (wet drought), berita di televisi dan konten di media sosial sudah menjelaskan. Namun misalnya saya masih seorang bocah, saya akan senang jika orangtua menjelaskan hal itu. Bagi anak, penuturan lisan dari orang dewasa, termasuk orangtua dan guru, itu menarik. Apa yang tersaji dalam ponsel dan tablet masih kurang.

Saya dulu, waktu kecil, selain didongengi oleh Bapak dan Ibu, secara impromptu maupun dari buku, juga mendapatkan aneka pengetahuan dari mereka. Saat listrik padam, kami sekeluarga menjadi laron, merubung lampu teplok paling terang, lalu Bapak dan Ibu bercerita.

Ibu sampai kini masih geli, karena ingat saat anak-anak didongengi dalam temaram teplok, tentang Hans dan Greta (Hänsel und Gretel), saya menangis. Saya kasihan kepada mereka dan takut akan dibuang oleh orangtua di hutan.

Di sekolah, saya senang jika guru pintar bercerita. Memang tak semua guru menguasai seni bertutur atau story telling, tetapi ajaran guru yang pintar bercerita akan lebih meresap, dari ilmu pengetahuan alam sampai sejarah.

Jika kini seni bercerita diterapkan untuk menjelaskan kemarau basah dan aneka dampaknya dalam kehidupan — dari petani yang diuntungkan maupun dirugikan sampai ke dunia satwa liar, misalnya dalam migrasi — pasti menarik. Apalagi jika dibantu multimedia.

Tentu multimedia tidak wajib. Seorang penutur yang piawai mampu membagikan pengetahuan tanpa bantuan gambar dan suara siap pakai. Semuanya cukup dengan papan tulis untuk melengkapi tuturan. Ya, papan tulis berkapur, seperti di sekolah mahal Waldorf School Peninsula di Lembah Silikon, California, Amrik.

Itulah tempat para eksekutif perusahaan teknologi berlaku curang karena menyekolahkan anak di tempat yang membatasi komputer sekaligus memuliakan kertas berupa buku tulis maupun buku bacaan. Bahkan anak-anak masih bermain dengan kerikil.

Saya sebut curang karena perusahaan mereka menjual produknya ke negeri lain untuk fasilitas pendidikan, dengan ekses terbaru berupa korupsi pengadaan laptop oleh sebuah kementerian pendidikan di sebuah negeri.

Berita anekdotal belasan tahun silam, gadis kecil kelas lima di sekolah tadi tak tahu cara memanfaatkan layanan Google, padahal dia putri seorang petinggi Google.

Oh ya, saya teringat konten sindikasi Ask Bill, tanya jawab dengan Bill Gates, pada akhir abad lalu. Kompas termasuk pengguna konten itu. Ketika Gates ditanya apa yang akan dia lakukan untuk anak-anaknya kelak, maka dia menjawab, pertama-tama tentu memperkenalkan mereka dengan buku.

Kita tahu, Gates adalah karnivor dalam membaca. Setelah kaya, dia membeli beraneka manuskrip pengetahuan. Salah satunya adalah manuskrip tulisan dan gambar karya Leonardo da Vinci, selesai dibuat sekitar 1510.

Oh, buku dan kertas. Kita tahu sekolah di sejumlah negeri maju di utara, misalnya Swedia dan Jerman, mengembalikan anak SD untuk gemar membaca buku dan menulis pakai tangan.

Bagaimana di Indonesia? Harga buku lebih mahal daripada paket kuota internet untuk ponsel. Tak semua guru yang mengajar di sekolah dengan murid dari kelas menengah ke atas, gemar membaca sejak kuliah dan selama bersekolah sebelumnya.

6 Comments

mpokb Sabtu 23 Agustus 2025 ~ 01.16 Reply

Hansel dan Gretel itu serem, huhu.. Konon aslinya dongeng-dongeng Grimm Bersaudara itu buat orang dewasa

Pemilik Blog Sabtu 23 Agustus 2025 ~ 20.30 Reply

Anehnya zaman demam komik Andersen, karya Grim dianggap Andersen juga

Rudy Jumat 22 Agustus 2025 ~ 15.07 Reply

Saya jadi ingat dosen saya, Pak Otto Soemarwoto yang pandai sekali bercerita dengan sangat menarik. Kuliah berjam-jam jadi tidak terasa. Satu lagi dosen saya yang juga pandai bercerita adalah Pak Rosanto yang mengajar ekologi hewan.

Pemilik Blog Jumat 22 Agustus 2025 ~ 16.13 Reply

Pak Otto memang legend hingga di luar kampus. Bapak saya kenal.
Kalo Wildan Yatim selain menulis di luar bidang studi apakah juga bertutur lisan secara memikat?

Rudy Jumat 22 Agustus 2025 ~ 18.07 Reply

Saya tidak pernah diajar oleh Wildan Yatim, ia mengajar di Fakultas Kedokteran UNPAD. Tetapi kata teman yang pernah mengikuti kuliahnya, dia pengajar yang bagus.

Pemilik Blog Jumat 22 Agustus 2025 ~ 19.00

Taufiq Ismail, dan Asrul Sani misalnya lulus dokter hewan, mungkin juga akan bertutur dalam kelas dengan mengesankan ya 😇

Tinggalkan Balasan