Iklan cendera mata koran Kompas hari ini (Kamis, 21/8/2025) ini terdiri atas tiga paragraf. Karena dalam ponsel tak terbaca, maka saya salinkan untuk Anda:
“Atensi terhadap media acap kali tertuju hanya pada objeknya. Dari statement kontroversial hingga skandal yang tersingkap, pokoknya segala yang berkilau menjadi sorotan pelita media.
“Namun, di balik warta, terdapat proses panjang yang mengantarkannya. Lebih dari itu semua, ada manusia yang bekerja di baliknya.”
Lalu paragraf terakhirnya:
Koleksi terbaru dari Kompas x SSST menjadi atribusi terhadap insan di balik berita. Para kuli tinta dan buruh fakta, yang tanpa henti menempa pabrik warta. Penuh dedikasi dan determinasi, menerjang berbagai ruang, sehingga suara kita senantiasa terdengar hingga seberang meja sana.
Walah, buruh fakta. Apa pula itu? Wartawan. Atau jurnalis, istilah ini mengemuka mulai 1990-an, terutama setelah ada Aliansi Jurnalis Independen (1994; pasca-bredel Tempo, Editor, dan Detik) sebagai tandingan Persatuan Wartawan Indonesia yang pro-pemerintah. PWI dan Deppen meminta semua pemred memecat wartawannya yang ikut AJI. Bahkan perusahaan non-pers yang mempekerjakan aktivis AJI pun ditekan oleh pemerintah.
Sebutan lain untuk wartawan sebelumnya adalah kuli tinta. Dalam iklan di Kompas itu , pada paragraf ketiga, ada teks “Para kuli tinta dan buruh fakta”. Oh.
Saya lupa judulnya, waktu saya kecil ada lagu menyebut kuli tinta. Saya mendengar dan menirukannya “kulit tinta”. Lalu mbakyu saya, yang tiga tahun lebih tua, mengoreksi dan menjelaskan arti kuli tinta.
KBBI ternyata memuat lema “kuli tinta” sebagai sebutan untuk wartawan dalam bahasa percakapan dan “orang yang memperoleh penghasilan (bermata pencaharian) dari menulis karangan (artikel, buku, dan sebagainya)”. Misalnya blog wagu ini menghasilkan uang, dalam jumlah nan bermakna pula, berarti saya kuli tinta, padahal mestinya kuli ponsel karena saya ngeblog menggunakan aplikasi Jetpack.
Saya tak tahu apakah sebutan kuli tinta berhubungan dengan tinta percetakan koran dan majalah. Jika benar, mestinya sebutan itu untuk buruh percetakan. Atau malah untuk buruh pabrik tinta. Tetapi sejauh saya tahu, di PT Tjemani Toka, pemain lama tinta cetak, tak ada sebutan kuli tinta.
Kuli. Buruh. Kata itu mewakili sebutan untuk pekerja kasar, yang hanya mengandalkan tenaga, tanpa menguasai alat produksi. Orde Baru alergi dengan istilah buruh maupun perburuhan karena dianggap kiri, beraroma pertentangan kelas. Maka pada 1985, Federasi Serikat Buruh Indonesia (FBSI, berdiri 1973) berganti nama Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FPSI).
Aktivis Muchtar Pakpahan (1953—2021) pada masa Orde Baru mendirikan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, organisasi buruh independen, sehingga berhadapan dengan represi penguasa. Setelah reformasi, pada 2003 dia mendirikan Partai Buruh Sosial Demokrat.
Apakah kuli tinta dulu, pada masa Orde Soeharto, ikut serikat buruh? Saya kurang tahu, tetapi di sebuah koran besar di Jakarta, dua wartawannya pada medio 1980-an dipecat karena menggagas serikat kuli tinta eh wartawan.
Menyangkut sebutan kuli, pada akhir 1980-an — 1990-an sebagian wartawan menjuluki diri kuli disket. Saat itu kantor media mulai memakai komputer IBM PC compatible, berbasis Microsoft DOS, dengan pengolah kata andalan WordStar — entah ori entah bajakan.
Saat itu belum semua redaksi menerapkan jaringan, sehingga dalam sneakers network para penulis berjalan kaki menyerahkan disket ke editor dan seterusnya ke bagian setting, atau ke bagian artistik (dulu istilah di bagian visual memang itu) jika sudah menerapkan desktop publishing. Begitu pentingnya disket, sehingga wartawan snob menyebut kuli disket dan menuliskan di medianya. Mengharukan memang.
Sebutan kuli disket tak berumur panjang, mungkin karena komputer redaksi sudah berjejaring, dimulai dengan pembuatan editorial basket.
Kemudian dalam era media daring, pada 2021 saya membaca cuitan Evi Mariani, salah satu pendiri Project Multatuli, yang menyebut “buruh-buruh konten” saat ramai kontroversi laporan Ridho Viva News yang dianggap memproyeksikan libido.
Saya tak tahu, sebutan buruh konten itu lebih disukai disukai para pekerja media ataukah juga para juragan media. Dulu di media sosial saya pernah membaca pengingat dari seorang warganet, yang kurang lebih, dalam bahasa saya, “Hoiii… para wartawan, emang kalian bukan buruh?”
Istilah kreator konten, demikian pula creative writer, mungkin lebih keren, memberi kesan mandiri, tanpa majikan, hanya ada klien untuk penulis, tetapi buruh konten seolah-olah tak memiliki posisi tawar.
Atau memang demikian, bukan seakan-akan, karena buruh konten dituntut berproduksi tentang apa pun, dengan cara apa pun, sebanyak-banyaknya, demi trafik?
2 Comments
Kalau saya gelarnya Wahabi Lingkungan 😁
Wahabi garis lucu atau malah wallaby?