Grafiti pada pagar polder di area saya ini unik: berupa deretan kata dalam peribahasa. Ada rasa Melayu di sana. Kalau si pembuat tulisan adalah anak sekolah, mungkin dia menyukai pelajaran bahasa Indonesia.
Biasanya grafiti berupa teks nama geng, sekolah, protes kepada pemerintah, atau kata entah apa yang tak dipahami publik. Tetapi yang ini beda: di mana kayu bengkok di sana musang mengintai.
Setahu saya, peribahasa yang benar adalah di mana kayu bengkok, di sana musang meniti. Artinya: di tempat yang tidak terjaga, di situlah pencuri datang (¬ Wiktionary Indonesia).
Polder itu dan warung di sekitarnya memang menjadi sasaran vandalis. Saya mengabadikan beberapa. Secara berkala semua coretan di sana dibersihkan, lalu menyeruaklah grafiti pengganti.
Adakah grafiti sebagai istilah bisa menjadi jenama? Tentu ada. Pertama, untuk jin lokal pada abad dulu: Grafitti. Promosinya termasuk kencang.
Kedua, untuk nama penerbit buku milik majalah Tempo: Grafitipers, yang beberapa produknya diteruskan oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Penerbit ini pada abad lalu punya toko di Slipi Jaya Plaza (¬ lihat SGPC, 2021), Jakbar, dan ruko di Boulevard Kelapa Gading, Jakut.
Toko yang di Slipi dibakar massa saat Kerusuhan Mei 1998. Di sebelah toko buku, pada lantai basement, itu ada supermarket yang juga dibakar, padajal di dalamnya ada anak-anak. Kawan saya yang tinggal di belakang plaza ingat, jeritan bocah menyertai suara letupan api menghanguskan apa saja.