Kita orang sipil, maka jangan meniru tentara dan polisi. Kira-kira demikian inti pesan lama yang digemakan oleh wartawan Budiman Tanuredjo.
Memang ini soal lama. Artikel seputar bahasa sudah membahas penggunaan kata “siap”. Salah satunya dalam rubrik Bahasa di majalah Tempo beberapa tahun lalu. Dan kita tahu, kata “siap” yang sepadan dengan okay (OK) dan alright, itu menembus ke pelbagai kalangan. Dalam komunikasi tertulis di aplikasi perpesanan ada yang menuliskannya “siyap”. Saya pun pernah tertulari.
Bermula dari militer dan polisi, kata “siap” yang diucapkan tegas — sebagai versi Indonesia untuk “Yes, Sir!” sebagai bukti kepatuhan terhadap atasan — akhirnya menjadi gaya percakapan sipil. Cara mengucapkannya lebih santai. Kadang dengan cengengesan.
Selain siap, ada pula kata “mohon izin”. Ini juga dari dunia militer dan polisi. Akhirnya tak hanya dalam rapat birokrasi seseorang harus mohon izin ketika menjawab maupun bertanya, karena dalam rapat RT pun demikian.
Itu tadi bentuk sopan santun baru, karena dulu mohon izin tak diobral? Biarlah para penelaah masalah psikolinguistik dan sosiolinguistik yang menjelaskan, terutama latar penyebabnya.
Kini ketika kesadaran tentang supremasi sipil menguat, karena terancam oleh militerisme, apakah “siap” dan “mohon izin” juga akan dipudarkan?
8 Comments
padahal seringnya saya pakai “siap” karena malas menjawab panjang lebar. “siap” aja dulu, sisanya pikir nanti.
mari berubah!!!
Mari 😂😂😂😂
Sudah biasa sering bilang “siap” kini harus tidak bilang. Angel. Tapi harus! Pasti bisa!
😂💐🙏👍👍👍
Sudah saya share link konten ini ke banyak kawan saya vis WA termasuk grup WA.
Bukan hal mudah 🙏👍💐😇
Ahsiaaapp… kata seleb. Saya khawatir alam bawah sadar kita merasa sipil tidak pernah setara dengan militer. Ibarat kasta, mereka lebih tinggi.
Betul. Kita merasa di bawah kasta ksatria, Mbak 🌞