Judoka Olimpian dari Indonesia, Krisna Bayu (51), sejak berusia sembilan tahun diketahui memiliki epilepsi dalam dirinya. Namun perjalanan hidupnya, sebagai orang dengan epilepsi (ODE), dia tekuni dengan judo.
“Sampai pada akhirnya, saya bertekad menjadi seorang juara. Seorang juara itu berarti hidupnya harus mesra dengan rasa sakit. Kalau tidak bisa bersahabat dengan rasa sakit, ya berarti kamu bukan juara,” ujarnya kepada Kompas (19/3/2025).
Hari ini, 26 Maret 2025, adalah Hari Epilepsi Sedunia. Sepekan sebelumnya Kompas mengangkat laporan mendalam tentang epilepsi. Sebagian telah saya kutip di blog ini.
Cemooh dan prestasi
Krisna pernah berlaga di Olimpiade Atlanta 1996, Olimpiade Sydney 2000, dan Olimpiade Athena 2004. Dia satu-satunya judoka Indonesia yang bisa tampil dalam tiga edisi Olimpiade.
Krisna meraih medali emas di Asian Marial Arts Games Bangkok 2009. Dia juga memetik delapan medali emas, tiga perak, dan satu perunggu dari sembilan edisi SEA Games.
Gejala epilepsi Krisna diketahui saat ia bocah, sering kejang, akhirnya terdiagnosis ada epilepsi dalam dirinya. Sejak SD dia belajar judo. Ada saja orang yang mencemooh dirinya bahkan keluarganya.
“Tetapi saya tidak mau menanggapi itu. Kalau saya malah fokus ke hal (cemooh) itu, saya tidak bisa fokus dengan tujuan saya untuk menjadi juara. Ya kalau mau memaki-maki saya paling masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Ternyata sikap masa bodoh itu yang berdampak positif untuk menjadikan saya seperti sekarang,” dia bertutur.
Kiat mencegah kambuh
Epilepsi kambuh saat bertanding pernah Krisna alami. Misalnya dalam Olimpiade Sydney 2000, saat dia melawan Carlos Honorato dari Brasil. Dalam SEA Games 2011 juga terjadi.
Dia mengenang, “Kesal? Sebagai manusia tentu kesal. Namun kodrat saya sudah digariskan sebagai penderita epilesi. Kalau saya menyesali apa yang Tuhan berikan sepertinya itu tidak akan ada hentinya. Jadi bagaimana mencari solusi untuk menghadapinya agar bisa terus melangkah maju.”
Krisna akhirnya tahu cara mencegah kambuh dalam pertandingan: memasukkan jari ke dalam mulutnya hingga terasa ingin muntah. Biasanya kejang urung muncul. Dia menduga otaknya teralihkan oleh keinginan muntahnya. Sejak saat itu hingga sekarang, sekitar 14 tahun, ia sudah tidak pernah lagi mengalami kekambuhan.
Persepsi masyarakat: penyakit keturunan
Kompas dalam tulisan lain juga menyajikan infografik hasil survei. Ternyata dalam masyarakat masih ada anggapan bahwa epilepsi itu penyakit keturunan, ada pula yang khawatir akan tertulari epilepsi.
Padahal risiko anak mengidap epilepsi jika orangtuanya adalah ODE amat kecil. Menular? Epilepsi tak disebabkan oleh virus.
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Seseorang dinyatakan mengidap epilepsi karena sejumlah sel saraf otak tidak berfungsi normal (¬ Kompas.id, 20/3/2025). Tentang lima mitos seputar epilepsi, silakan baca tulisan dr. Nadia Devianca, Sp.N. di laman Rumah Sakit EMC.
Epilepsi bisa diobati
Epilepsi bisa dikontrol, dengan obat dari dokter. Epilepsi itu seperti hipertensi dan diabetes: bisa dikendalikan.
Adakah atlet selain Krisna yang merupakan ODE? Ada, misalnya Raema Lisa Rumbewas (10 September 1980 – 14 Januari 2024) atlet angkat besi Indonesia asal Papua. Dia berpulang setelah sepekan sebelumnya terjatuh, karena obatnya habis, lalu dirawat di rumah sakit hingga meninggal (¬ Liputan 6).
Menurut Ida Aldamina Korwa, ibunda Lisa, “Lisa sudah mengidap penyakit epilepsi sejak usia tiga bulan, dan selama menjadi atlet obat yang meresepkan dokter selalu harus dibawah, pada saat latihan dan mengikuti lomba ke luar Papua. Mama selalu berusaha mencari obat untuk Lisa.” (¬ Jubi Papua)
- Ada 1,96 juta kasus epilepsi di Indonesia, tapi jumlah dokter saraf sedikit: Ternyata 50 persen kasus epilepsi tak diketahui penyebabnya. Namun orang epilepsi terkena stigma dan diskriminasi.