Baiklah, sebelum Anda persoalkan maka saya jawab dulu. Judul pos ini tidak berdasarkan data, hanya kesan saya. Sejak kapan kontra-narasi dari pemerintah muncul secara terorkestrasi, bagaimana persebarannya dan tanggapan terhadap konten di media sosial, biarlah itu menjadi jatah para analis, termasuk Drone Emprit.
Tempo hari saya menulis soal pendengung atau buzzers pemerintah yang tampaknya pasif. Lalu kemarin di X saya lihat pesan visual yang tematis, berupa gambar-gambar hasil AI generatif berformat vertikal sehingga ramah ponsel.
Jika saya kelompokkan, ada dua topik propaganda pemerintah. Pertama, tentang revisi UU TNI. Kedua, tentang kinerja Prabowo Subianto — tanpa menyebut wakilnya, si siapa itu.
Untuk mengonter kritik terhadap dwifungsi TNI, isi pesannya adalah pembingkaian negatif terhadap lawan, yakni masyarakat sipil. Kepada siapa pesan itu ditujukan? Tentu bukan kepada lawan melainkan masyarakat yang bingung dan mungkin diam saja, yakni silent majority — lihat pula survei Litbang Kompas. Itu jamak dalam perang wacana: berebut benak khalayak. Dalam kampanye politik dan komunikasi pemasaran juga begitu.
Adapun dalam mengonter kritik terhadap kinerja pemerintah, intinya adalah menularkan optimisme. Di dalamnya ada pesan menarik: mimpi Prabowo.
Sebenarnya biasa, setiap pemimpin, dan bangsa, punya impian karena impian menggerakkan kerja untuk mencapainya. Dalam Bahasa Honda: the power of dream. Orang Amerika punya impian kolektif dan dengan bangga menggaungkan the (so-called) American dream. Impian orang Indonesia? Masyarakat adil makmur sejahtera. Semua orang, bukan cuma satu persen dari warga.
Saya tak tahu bagaimana persebaran pesan visual itu di WhatsApp warga, terutama grup. Sejumlah grup yang saya ikuti, yang pada dasarnya adalah untuk bersilaturahmi, selama Ramadan tampak mengerem diri untuk tak membahas isu panas.
Semua pesan pro-TNI maupun pro-Prabowo tampak dikemas dengan terencana. Ada benang merah antarpesan. Kalau tangkisan sporadis dari pihak pro-militer dan pro-pemerintah sih beragam gayanya. Ada yang kasar, kocak, atau tak jelas, asal komen — demikian pula pihak lawan.
Bagi saya konter dari pemerintah ini bagus. Kenapa? Lawanlah narasi dengan narasi, wacana lawan wacana, jika perlu berdebat di media sosial, melengkapi versi YouTube. Itu lebih edukatif ketimbang persekusi, doxing, peretasan, dan seterusnya.
Bahwa untuk itu pemerintah, misalnya, harus keluar biaya di tengah efisiensi, ya wajarlah. Tinggal soal pertanggungjawaban biaya komunikasi saja. Lha wong belanja penganan untuk persamuhan saja ada laporannya kok. Tentu itu semua dengan catatan, tidak berarti semua penggema pesan adalah orang bayaran.
Nah, dari beberapa sampel pesan pro-pemerintah ada yang menarik. Isinya lunak, simpatik: menenggang perbedaan pendapat dan terbuka terhadap diskusi.
¬ Hak cipta gambar tidak diketahui
- Jadi, buzzers pemerintah pada ke mana? Mungkin bujet lagi tipis. Atau malah sedang kesal terhadap junjungan yang mereka pilih saat pilpres.
- Survei: Banyak penolak dwifungsi, tapi siapa mereka? Isu bahaya militerisme hanya melekati kalangan terdidik. Di bawah, yang tahu pengesahan revisi UU TNI hanya 20 persen.
- Indonesia calling 2025: Ketika rakyat terdesak, minta perhatian dunia luar itu wajar.
2 Comments
Si siapa itu????
Ngapunten. Kirangan.