Eklektik asyik. Itu kesan saya tentang teras sebuah warung bakso di tengah Kobek. Ada ubin atau tegel warna-warni dan perabot jati lawasan, salah satunya bangku panjang kasar dan berat.
Apakah atmosfer kedai tersebut bisa dibilang antik, atau vintage? Untuk sebagian, ya. Namun menurut saya lebih ke eklektik jadul dan modern. Dulu setahu saya jarang orang mencampurkan tegel warna-warni karena ubin yang berbeda warna hanya dijadikan aksen.
Kita mengenal tegel, dari bahasa Belanda vloertegels (baca: flur-teikhels), pada masa kolonial. Ubin adalah cetakan semen untuk lantai tinggal pasang. Jadi berbeda dari plester lantai yang dipasang saat semen basah dari batas ke batas. Orang Jawa bilang pelur — dari kata vloer, yang dalam bahasa Inggris adalah floor.
Akhir 1990-an ketika ubin musim lagi, rujukan orang adalah tegel cap Kunci, Yogyakarta, yang hadir sejak 1927. Kekurangan tegel adalah porositasnya melebihi ubin keramik. Jika tanah di bawah ubin basah, padahal lapisan semen kurang tebal, ubin akan lembap. Jadi, berbeda dari tegel di lantai dua yang tetap kering. Cara perawatan tegel silakan lihat panduan pabrik.
Tentang ubin warna-warni, saya teringat tema visual jamu cap Djago yang kemudian menjadi Jago. Namun hari ini siapa ingat jamu Jago? Jenama jamu paling meresap dalam benak khalayak adalah Sido Muncul, juga dari Semarang. Nama Jaya Suprana (78) itu tersohor tetapi sebagian orang tak menautkannya dengan Grup Jago. Kalau terhadap Irwan Hidayat (77), orang langsung menghubungkannya dengan Sido Muncul. Sedangkan Nyonya Meneer sudah tamat, bermula dari konflik internal keluarga lalu pailit.
2 Comments
Apikk, menghibur mata..
Supaya tidak capek mikir negara. Wong yang mimpin saja gak mikir rakyat