Menimbang perkelahian polisi lawan mahasiswa dan emosi publik

Pembatasan tayangan di medsos adalah bukti video itu kurang edukatif. Tapi soal suasana batin publik?

▒ Lama baca 2 menit

Satu lawan satu polisi dan mahasiswa — Blogombal.com

Makin menua saya tak tahan melihat perkelahian keras dalam film dan tontonan perkelahian pura-pura maupun beneran, apalagi kekerasan nyata, misalnya penjahat menganiaya korban. Kalau film kungfu yang lebay, ngawur, dan lucu, saya suka, misalnya Kung Fu Hustle.

Ketika dulu saya memergoki putri saya semasa SD memainkan Tekken versi awal, rendering-nya belum 3D mulus, saya ngeri dan segera mencari tahu peringkat usia gim tersebut di ESRB. Tetapi ketika dia memainkan gim laga sopir truk melawan Mafia saya biarkan. Demikian pula gim reli Colin McRae dan balap liar Gran Turismo.

Semuanya adalah gim yang menjadikan saya pecundang melawan bocah. Grand Theft Auto dia mainkan seizin saya padahal dia belum cukup umur menurut ESRB. Untunglah akhirnya dia suka gim strategi klasik berlatar perang Shogun.

Tetapi di X saya senang jika melihat video orang bisa melawan penjahat. Misalnya kasir minimarket mengalahkan perampok berpistol. Atau pemobil sengaja menabrak begal berpistol di jalan. Kadung tertanam di benak sejak kecil, orang jahat tidak boleh menang. Tetapi melihat penjahat tertangkap sudah tak berdaya dan menyerah tetap dianiaya secara keroyokan saya tak tega. Bahkan videonya saya skip.

Lalu tadi malam saya melihat video di X, belum jelas siapa pengunggah pertama, mahasiswa melawan polisi, satu lawan satu, durasinya pendek, di atas atap truk. Perasaan saya campur aduk. Ya menikmati, ya kasihan kepada polisi belia itu, ya kagum dengan pengendalian diri si demonstran, karena dia tak melakukan serangan telak berbahaya kepada lawan yang terduduk namun belum angkat tangan menyerah.

Setelah tenang, saya pun merenung. Adakah yang tak beres dalam kesehatan mental saya, dalam puasa pra-Paskah ini? Sempat muncul rasa malu. Kemudian disusul keprihatinan sekaligus kecemasan.

Jika anak itu menyerang secara fatal, urusan bisa berkepanjangan. Dia melawan hukum, melawan polisi yang sedang bertugas. Saya ngeri membayangkan dia akan dirujak ulek oleh polisi lain. Demonstran dan polisi sama-sama dalam tensi tinggi. Apalagi mereka sebaya.

Saya lihat banyak komen di X mendukung si demonstran. Intinya: kalau satu lawan satu, tanpa senjata, polisi belum tentu menang. Emosi publik seperti terhimpun menjadi energi kesumat di alam virtual. Padahal dari virtual bisa meluber ke lapangan.

Saya mencoba berpikir jernih. Mas Polisi itu mempertahankan kedaulatannya, yakni truk korpsnya. Namun saya dengan malu menggugat diri: mengapa saya sempat menganggap dia sebagai penjahat yang melawan orang baik?

Hmmm… ini soal latar kejadian dalam bingkai besar. Ya, soal konteks. Masyarakat sedang kesal dengan polisi akibat perilaku sejumlah polisi buruk moral; apalagi dalam isu militerisme dan merosotnya demokrasi dalam negara ini. Ada kebencian kolektif terhadap polisi dan korps bersenjata. Ini soal emosi dan persepsi. Pilpres 2024 dan Pilkada 2024 masuk etalase pembusukan demokrasi dalam bingkai besar tadi.

Nostalgia gim Road Rash — Blogombal.com

Oh! Ya, ya, ya. Likuran tahun lalu istri saya menegur, mengapa saya menghajar polisi dalam gim Road Rash. Hal itu tidak mendidik bagi anak kami. Di kantor, dini hari selewat tenggat, saya dan sejawat memainkan gim balap liar berkualitas grafis jadul itu di jaringan komputer. Dengan micro hi-fi di ruang saya, kenikmatannya berlipat. Apalagi di komputer khusus untuk mengetes peranti lunak dan periferal di ruang server.

Dalam balap liar itu setiap peserta saling sikat, tak ada kawan, semuanya lawan, termasuk polisi. Ketika saya memilih menjadi pemotor manis, melaju santai di tepi, tidak pecicilan, pasti mendadak dipepet, didepak, dan dipukul dengan rantai atau besi oleh pemotor lain dari belakang.

Kalau yang menyerang saya polisi ber-Harley-Davidson, adrenalin saya mendidih. Tak sampai finis bukan masalah, yang penting bisa kasih pelajaran kepada polisi itu supaya jangan menyerang pemotor manis. Puwasss. Marem. Kalau dipikir-pikir, kurang ajar nian pengembang gim ini. Masa sih warga diajari berlaku anarkistis terhadap penegak hukum?

Tadi malam saya merenung. Suasana batin masyarakat, terutama para demonstran dan pendukungnya, boleh jadi seperti saat saya dulu membalas polisi yang dalam gim saya posisikan sebagai penjahat.

Para perwira Polri mempelajari psikologi, sosiologi, dan filsafat, bahkan membaca The Police Journal dan sejenisnya, lebih banyak daripada bharada dan bharatu — yang oleh demonstran diledek malas baca. Mestinya dalam situasi saat ini, ketika citra polisi sedang terjerembap, para perwira dapat mengintrospeksi diri tentang korpsnya.

Saya warga. Saya butuh polisi yang baik dan benar. Sehari saja semua polisi prei atau mogok, bisa kacau seisi negeri; bahkan misalnya pun polisi buruk lebih banyak ketimbang yang baik. Saya mohon, Ndan. Semoga lapan anem.

2 Comments

mpokb Sabtu 22 Maret 2025 ~ 15.49 Reply

Itu polisi sempat terduduk kayak bingung, seperti nggak pernah berkelahi. Aneh juga, padahal mereka dilatih untuk membunuh, bukan? Btw semoga mahasiswanya nggak ditangkap.

Pemilik Blog Sabtu 22 Maret 2025 ~ 16.36 Reply

Kesian polisi belia itu.
1. Ada momen kritis yang membahayakan dirinya padahal dia tidak spt petinju yang terduduk, kalo lawan beringas dia bisa memanfaatkan momentum

2. Saya khawatir polisi itu akan disalahkan oleh teman-temannya, dianggap bikin malu korps

3. Di sisi lain saya juga khawatir nasib mahasiswa lawan polisi itu

4. Dalam bahasa demonstran, polusi macam itu tidak bisa diajak debat, diajak berkelahi pun kalah. Soal debat dan wawasan, umumnya polisi rendahan itu memang malas baca bahkan sejak kecil, karena cita-cita masuk polisi adalah dapat pekerjaan yang gak usah menambah intelektualitas

5. Tapi gak semua polisi rendahan gitu lho, ada video polisi ngetes logika remaja yang gak mabuk yang kemampuan berpikirnya payah

Tinggalkan Balasan