Kalau jatah tentara diperluas, jangan-jangan nanti minta lagi

Jika resminya pemerintahan sipil tapi diisi militer, bagaimana nasib demokrasi dan rakyat?

▒ Lama baca < 1 menit

Penempatan prajurit TNI di ranah sipil — Blogombal.com

Dari sepuluh ranah sipil, TNI akan mendapatkan tambahan lima kaveling lagi, sehingga menjadi 15 kementerian dan lembaga. Kalau prajurit — dalam konteks tertentu ini mencakup pangkat terendah hingga bintang empat — sudah pensiun atau cabut, silakan saja.

Tetapi kalau masih aktif, ya silakan di tangsi saja. Masalahnya, kalau 15 ranah ini diloloskan oleh Revisi UU TNI, apakah ada jaminan bahwa militer tak akan minta lagi?

Sepuluh bidang yang ada dalam UU hasil reformasi adalah buah kompromi. Menurut Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad, “Saya menyebut Pasal 47 Ayat (2) UU TNI ini adalah pasal kompromi. Argumentasinya, selama 32 tahun berkuasa, Orde Baru menempatkan militer di 10 lembaga tersebut. Pada saat itu, belum ada orang-orang yang bisa mengisi jabatan tersebut.” (¬ Kompas.id)

Mari berbelok arah bincang. Apakah dalam supremasi sipil ada jaminan bahwa sipil bisa mengurus negara dengan baik? Kalau warga sipil yang jadi pemimpin bagus ya bisa.

Tetapi jujur saja, apakah pemilu, termasuk pilkada, yang menghasilkan pemimpin sipil — termasuk sipil yang bekas tentara — itu diisi oleh orang genah? Sipil yang harus membuktikan. Demokrasi menyediakan cara untuk memilih pemimpin yang bagus dengan tim yang bagus.

Bagaimana jika sipil tak cakap mengurus negara, doyan korupsi? Rakyat marah, apalagi jika berakibat ekonomi mereka memburuk. Repotnya kalau keadaan parah — misalnya rakyat membangkang, ditambah disintegrasi — akibat sipil gagal, militer akan terpanggil bergerak. Di sejumlah negeri demikian. Terjadi revolusi tangsi.

Tentara tak hanya punya senjata tetapi juga keunggulan organisatoris. Maka mereka disebut kekuatan bersenjata reguler. Tanpa organisasi yang rapi, mereka adalah gerombolan bersenjata tanpa standar rekrutmen maupun hierarki baku serta sonder sistem karier yang jelas.

Tentu prasyarat sampai terjadi kudeta militer itu rumit. Banyak variabelnya, kata orang sekolahan. Tak cukup hanya bermodalkan amarah rakyat.

Yang tak terbayangkan, jika dalam pemerintah yang resminya sipil, tetapi di dalamnya ada militer, kemungkinan apa saja yang akan terjadi? Mungkin tak ada kudeta yang menghasilkan junta, atau setidaknya pemerintahan (yang diniatkan) sementara dan represif, tetapi siapa mengendalikan siapa? Soal berikutnya tentu nasib demokrasi dan rakyat.

Baiklah, pikiran saya mungkin ngawur karena saya bukan ilmuwan politik.

¬ Foto dan infografik: Kompas

Bahaya militerisme dalam revisi UU TNI — Blogombal.com

4 Comments

Widodolestari Senin 17 Maret 2025 ~ 12.16 Reply

Jangan lupa di ujung pasal itu ada kata-kata ‘serta blablabla didasarkan kebijakan presiden’. Udah semua itu.

Pemilik Blog Senin 17 Maret 2025 ~ 15.15 Reply

😂😂😂😂

mpokb Sabtu 15 Maret 2025 ~ 23.44 Reply

Soal posisi di Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung itu yg bisa bermasalah. Masa biasa pegang bedil jadi hakim? 😐

Pemilik Blog Minggu 16 Maret 2025 ~ 04.30 Reply

Lho, tentara punya jaksa dan hakim militer, untuk Mahkamah Militer, seperti yang mengadili anggota TNI AL pembunuh bos rental saat ini 🙏😇

Tinggalkan Balasan