Siang tadi, dalam panas agak kemranyas, setengah sebelas, tatkala saya melipir menyusuri sisi jalan yang teduh, mata saya melihat amarilis pucat. Sendirian, tak ada dari keluarganya yang menemani.
Setelah saya iseng memotretnya, sambil berjalan ke warung untuk membeli maizena, lamunan saya pun mengiringi langkah. Banjir pekan lalu, itulah yang teringat.
Andai kata banjir pekan lalu sampai sepaha saja, semua tanaman hias di kompleks ini pasti rusak. Apalagi di kompleks lain yang banjirnya sampai genting. Lumpur dan segala kotoran masuk ke rumah. Penghuni yang rumahnya kebanjiran sampai lantai dua, namun tak sampai ke genting, kesulitan buang air.
Hari ini bunga tanaman hias di luar pagar masih mekar, orang yang tak kebanjiran tetap lega. Tetapi kelak? Tak ada yang tahu. Misalnya pun kelak banjir, dan tanaman rusak, itu belum seberapa jika dibandingkan air, lumpur, sampah, segala kotoran makhkuk hidup, dan bangkai binatang mengisi rumah. Di rumah mereka ada bayi. Ada lansia tak berdaya.
Saya tiba di warung mungkin dengan muram. Pemilik warung menatap saya, heran. “Cari apa, Pak?” dia bertanya, dua kali.
2 Comments
Berbicara soal tanaman hias, ayah saya senang sekali menanamnya dan sempat meletakannya di depan rumah. Namun, karena sering dirusak oleh orang iseng yang tidak bertanggung jawab, alhasil dipindahkan ke taman di dalam rumah.
Sebenarnya saya agak sedikit sedih dan bingung, mengapa mereka tidak bisa menghargai keindahan tanaman di lingkungan sekitar. Selain itu, sepemahaman saya, merawat tanaman hias itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Tentu mengurusi tanaman hias tak hanya butuh biaya tetapi juga tenaga dan waktu.
Memang sakit jiwa para vandalis itu. Tetangga saya kesal, tanaman cabai di luar pagar, untuk sosial karena siapa pun boleh memetik, diambilin anak-anak buat lempar-lemparan.