Dalam perjalanan KRL Citayam ke Cilebut saya menunduk terkantuk-kantuk. Karena pintu terbuka saat sampai di Bojonggede, saya pun terbangun. Mata saya melek melihat merek sandal cap Dua Kaki. Saya belum pernah tahu merek itu. Melihat iklannya juga belum pernah. Bagi saya ini merek yang sangat percaya diri dan lembah manah.
Oh saya ingat suatu kali mengisi kuesioner suatu produk, saya lupa berupa apa. Ada pertanyaan dari mana responden mengetahui merek tersebut. Tak ada opsi karena melihat orang memakainya. Pilihan yang ada dari iklan di TV, koran, majalah, situs, bilbor, dan media sosial.
Dalam kasus Dua Kaki, saya tahu ketika sandal itu sedang dikenakan seseorang. Ini seperti dulu, 2008, teman saya menunggu saya membungkuk untuk mengetahui merek jin pada pinggang saya. Setelah melihatnya, dia tanya, “Cole itu bikinan mana, Paman?”
Saya bilang itu merek lokal, dibuat untuk Matahari, harganya Rp70.000. Dia masih penasaran, “Nggak malu?” Saya jawab, ini potongan basic, nyaman. Nggak perlu malu. Karena saya tidak mencuri.
Kepenasaranan dia serupa seseorang yang heran melihat arloji saya, buatan Surabaya, quartz, harganya Rp80.000. Dia malah baru tahu ada merek jam tak murah yang sebenarnya jenama lokal, terdiri atas dua kata, menyerupai nama orang Prancis.
Kembali ke soal sandal. Dalam perjalanan pulang malam dari Bogor ke Cawang saya melihat iklan sandal cap Porto dalam gerbong. Slogannya “sandal paling nyaman di muka bumi”. Harganya Rp65.000, tentu sepasang. Seperti halnya Dua Kaki, saya cek kedua merek tersebut di lokapasar. Ada.
Begitulah, jenama atau brand bisa kita ketahui dari mana saja, bahkan tanpa tahu untuk produk berupa apa. Pada 1990-an saya tanya seorang sopir Mikrolet M11 Tanahabang – Kebonjeruk, stiker besar di kaca depan Dick Cepek itu apa artinya. Dia bilang “Nggak tau, Bang. Ikutan aja. Kayak nguber setoran cepek jadi capek.”
Itu serupa awal 2000-an ketika saya menanya sopir angkot KR Kampung Rambutan – Kranggan tentang stiker Rockford Fosgate. Dia tak tahu itu apa. Ikut mode saja.
Artinya dia tak beda dengan seorang anak desa di Kutoarjo, Jateng, pada 1984, yang menggambari saku baju seragam sekolahnya dengan logo Billboard. Dia tak tahu itu logo apa selain, “Di sekolah saya lagi musim, Mas.”
Juga artinya serupa saya yang waktu kecil tak paham melihat stiker Union 76, atau stiker bening besar yang menutupi kaca belakang mobil dengan tulisan Winchester disertai lingkaran target.
Sekarang era internet ponsel. Jenama Supreme dengan mudah diketahui itu untuk produk apa, yang orisinal berapa harganya. Tak seperti dulu kala kita mengenal Billabong, Ripcurl, Hot Tuna dan Stussy, namun kita kurang paham itu apa selain pakaian dari Bali — padahal bajakan.
Juga dengan internet ponsel, saat berada dalam gerbong, saya memastikan sandal cap Dua Kaki dan Porto. Iseng? Ehm, saya memang wagu. Tapi lebih banyak yang tak mengundang rasa ingin tahu saya, sebagai iklan maupun saat produknya dipakai seseorang. Saya lebih sering tak peduli. Terlalu banyak hal tak penting dalam kehidupan ini. Termasuk blog yang Anda baca ini.
6 Comments
Merek favorit saya Levi’s, Paman.😁Kadang-kadang Wrangler.
Top! 👍👏💐
Tapi sudah enggak pernah beli.🤣
Artinya dia tak beda dengan seorang anak desa di Kutoarjo, Jateng, pada 1984, yang menggambari saku baju seragam sekolahnya dengan logo Billboard. Dia tak tahu itu logo apa selain, “Di sekolah saya lagi musim, Mas.”
Baca paragraf ini, mak deg. Kutoarjo itu kelahiran saya, tapi tahun 1984 sudah lulus SMA sih. Jadi bukan saya yang disebut di situ. Aman
Dalam hal ini beda 😇🙏
Saya dulu di Tepus Wetan 1984. Kalo malem lewat Gunung Tugel sepi.
Waaaa ternyata pernah (sering) lewat depan rumah saya: kidul pasar khewan kutoarjo, rumah nomor 4 dari jalan raya. Depan rumah dulu ada pohon kelapa genjah.
salim.