Ternyata saya bukan konsumen yang cermat. Setiap kali menggoreskan kapur antisemut selalu hanya satu garis, bukan lingkaran rangkap seperti radius radar. Memang dalam kemasan ada gambar semut dan kecoak dalam lingkaran rangkap, namun saya menyangka itu hanya untuk simbol saja.
Menurut panduan, cara menggoreskan garis memang harus rangkap. Saya baru ngeh saat memotret kemasan sehingga teks lebih terbaca pada layar ponsel. Saya tadi harus menggambar lingkaran untuk memagari mangkuk pakan bagi anjing yang dititipkan di rumah saya.
Nah, saat menggambar lingkaran itu saya gagal mengingat kapan terakhir kali menggunakan kapur di papan tulis. Samar-samar teringat pada 2008 saya tampil di sebuah SMP sederhana di Tangsel, Banten, hanya sekali, pro bono, karena diajak seorang editor buku pelajaran. Laptop dan proyektor LCD yang saya bawa tak berguna karena listrik padam.
Artinya, saat tampil di SMP itu berarti saya telah berjarak likuran tahun dari bangku kuliah. Saya adalah generasi lawas yang jangankan saat mahasiswa, di sekolah sebelumnya pun belum ada proyektor LCD dan PowerPoint.
Kalau overhead projector saat kuliah saya sudah kenal, menggunakannya di luar kampus, dan sebagai visualizer dapat uang dari mendesain lembaran transparan 3M untuk presentasi.
Lalu dari kapur, apa saja yang ingat? Tentu debu. Memang kemudian muncul kapur tulis tanpa banyak debu. Selain itu kapur sering dipakai guru menyambit murid. Guru yang kesehatan mentalnya buruk malah melemparkan penghapus ke arah murid.
Ketika guru tak titis bersua murid yang tangkas menghindar, kapur maupun penghapus bisa mengenai anak lain. Saya pernah jadi korban kapur salah bidik di SMP. Saya protes. Namun guru yang kesehatan mentalnya buruk, malas berlangganan koran dan majalah maupun apalagi beli buku karena gajinya cekak, itu minta saya membalas ke anak yang bisa mengelak. Aneh.
Zaman dulu juga banyak guru jorok. Puntung kapur mereka buang sembarangan. Begitu juga puntung rokok — ya, dulu ada guru mengajar sambil mengasap. Nah, tugas anak-anak piket kebersihan esok paginya yang membersihkan itu semua.
Sungguh, itu sebuah pedagogi nan menindas dan eksploitatif. Saya menyoal itu dibilang bakal jadi komunis. Kepsek SMP bernubuat kelak setelah saya dewasa akan menjadi penggerak makar. Untunglah dia bukan nabi.
Kapur meninggalkan banyak kenangan. Saat belum sekolah hingga kelas dua SD, saya dan adik saya menjadikan lantai teras rumah dari semen sebagai kanvas untuk kapur. Kami menggambar di situ. Orangtua tak melarang.
Namun ada kenangan yang justru saya petik dari orang lain, seorang bapak muda, instruktur motocross, saat ngobrol di rumah saya pada suatu tengah malam, akhir tahun lalu. Karena kesal terhadap seseorang yang lebih tua namun menurutnya sok tau banget, sering menganggap orang lain kurang pengetahuan, dia berucap, “Emang dia doang yang pernah kelilipan kapur guru di kelas? Kita juga disekolahin ortu!”
Saya selama SD sampai SMA senang duduk di depan, namun mepet dinding, sehingga tak menghalangi bangku belakang. Saya senang di depan supaya tidak berani tidur maupun terlalu asyik menggambar atau juga mengisi sobekan koran berisi TTS.
Nah, duduk di depan bisa kelilipan kapur. Apalagi jika pintu kelas dibuka.
6 Comments
Terima kasih, Bang Paman. Jadi tahu cara pakai kapur semut yang benar setelah bertahun-tahun :”)
Saya juga baru tahu. Kita senasib, Mbak Mpok 😂💐
Instruktur motorcross? Siapa dia?
Dia Mr X. Punya sekolah motocross.
Yang disekolahkan motorcrossnya? *kriuk*
🤣