Di halaman 11 Kompas hari ini (Sabtu, 1/3/2025) mata saya tercegat foto panoramik aerial bentang alam, dengan siluet masjid di tengah perairan. Baru kemudian saya membaca judul, intro, kemudian kapsi.
Koran Jakarta ini sudah beberapa kali melaporkan sedimentasi di Teluk Kendari, Sultra. Kali ini laporannya dikemas berkisah, dengan data lengkap.

Intronya menyengat: “Lumpur tebal terus mengubur tepian Teluk Kendari selama bertahun-tahun. Kondisi teluk pun kian merana tanpa ada penanganan berarti.” Saya sebut menyengat karena Kompas seperti menggugat pemerintah daerah.
Alinea pertama bertutur:
Lumpur tebal berwarna coklat pekat itu seperti selimut yang mengubur tepian Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara. Seiring waktu, lumpur kian tebal menaklukkan teluk tanpa penanganan berarti. Nelayan merugi. Masa depan lingkungan pun tidak pasti.
Endapan lumpur di tepian teluk sampai sepinggang Ramli, nelayan setinggi 170 cm. Dia menyaksikan dan merasakan mangrove yang terus berkurang, sementara lumpur terus menebal.
Udang tangkapan Ramli kini hanya empat kilogram sehari, padahal beberapa tahun lalu sepuluh kilogram sehari.

Di Teluk Kendari yang seluas 29,5 kilometer persegi itu bermuara 13 sungai yang membawa lumpur dari pedalaman, terutama karena pembukaan lahan. Kondisi itu pun masih ditambah pembangunan di tepian Teluk.
Dalam laporan lainnya disebutkan bahwa Sungai Wanggu, yang menguasai daerah aliran sungai (DAS) seluas 339,73 kilometer persegi, merupakan penyumbang sedimentasi terbesar. Sedimentasi dari sungai itu mencapai 143.147 meter kubik per tahun atau sekitar 143 juta ton.

Teluk terus mendangkal. Menurut riset BRIN, pada 2023 kedalaman teluk 23 meter. Kini kedalaman sekitar sepuluh meter. Kandungan lumpur dalam sedimen mencapai 80 persen. Akibatnya nyata, saat hujan deras wilayah sekitar teluk kebanjiran.

Begitu parahnya endapan lumpur di sana, sehingga pada 2 Februari 2022 Kompas memberitakan seekor lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) mati setelah belasan jam tak berdaya.
Semalaman hewan itu terjepit di antara akar bakau di kondisi tepian sungai yang surut dan tidak ada air. Dua jam setelah dievakuasi oleh petugas gabungan, si lumba-lumba itu mati.
¬ Foto, kapsi, dan infografik: Kompas