Saya menerima bungkisan kopi, dua macam, bubuk dan biji. Yang bubuk adalah house blend, hasil pencampuran arabika dan robusta oleh penjual. Sedangkan yang biji adalah arabika Wamena, single origin — artinya ada klaim penjual bahwa kopinya dari kebun yang sama.
Lalu, karena house blend, ingatan saya malah ke topik yang sedang hangat: Pertamax oplosan. Pertamina dan kalangan industri minyak bumi menyatakan blending dan mengoplos itu berbeda.
Blending itu mencampurkan unsur pendukung ke dalam bensin yang sudah jelas kelasnya, misalnya RON 92 maupun RON 90, dan ada standarnya. Kalau oplosan, mencampurkan kedua kelas RON (research octane number). Nilai oktana menentukan kemampuan bakar dan kompresi BBM dalam mesin.
Masalahnya, Kejaksaan Agung sempat menyatakan bahwa komplotan pemanipulasi pengadaan BBM mem-blend dalam arti mengoplos kedua jenis RON di Merak, Banten (¬ BBC Indonesia). Masyarakat menyimpulkan, Pertalite dan bahkan Premium (RON 88) dioplos dengan Pertamax. Artinya, Pertamax yang konsumen beli itu tidak murni.
Praktik menipu melalui impor BBM itu berlangsung 2018 — 2023. Negara tekor Rp193,7 triliun, karena pembelian RON 90 dibayar dengan harga RON 92. Artinya, misalnya benar ada oplosan, BBM termaksud sudah habis terjual, kini konsumen tak perlu pindah ke SPBU non-Pertamina. Dalam tafsir saya demikian. Tentu saya mengakui sempat percaya isu oplosan.
Lalu mana yang benar, ada atau tak ada pengoplosan bensin? Jangan menyalahkan masyarakat karena bensin tak murni di tingkat pengecer sejak dulu ada. Mengoplos elpiji bersubsidi dengan non-subsidi juga terjadi. Madu oplosan juga ada. Dalam politik hari ini, tak ada oposisi kontra oplosan koalisi pendukung pemerintah. Eh, kagak nyambung. Maaf.
Pemerintah harus menjelaskan dengan bahasa yang sederhana dan gamblang soal ini, dengan maupun tanpa mengerahkan pendengung. Masyarakat juga berharap, Kejagung takkan menerapkan dakwaan yang salah, yakni mengoplos, padahal dalam sidang kelak tidak terbukti. Dari sisi dagelan, kalau ada oplosan mungkin pembeli Pertalite beruntung, beroleh RON plus.
Dalam kehidupan, masyarakat terbiasa dengan istilah ngeblend maupun ngoplos. Ada yang berkonotasi positif, ada yang negatif karena manipulatif. Ada juga yang berbahaya bahkan mematikan: miras oplosan. Autan pun diikutkan (¬ Tribata News Karawang, 2017).
Di Solo Raya, teh oplosan sekian merek adalah seni meramu cita rasa. Beda keluarga beda formula. Ahli oplosan teh itu antara lain Blontank Poer. Apa saja unsur merek teh dan komposisinya dalam Blontea, hanya dia yang tahu.
Dalam industri rokok, jenama klasik Dji Sam Soe menyebutkan dalam bungkus, “[…] memakai tembakau berkwalitas tinggi dengan tembakau Madura yang manis baunya dan tembakau Amerika yang harum dicampur cengkeh terpilih […] dan saus khusus…”.
Penjual tembakau tingwé menyebut dagangannya tembakau racikan pabrik, dengan cita rasa merujuk ke sejumlah jenama tenar. Di lokapasar, jenama rujukan disamarkan agar tidak dituduh memalsukan. Maka ada Soriah (Gudang Garam Surya), Dj.Spr (Djarum Super), Ai Mel (Sampoerna A Mild), dan Esseh (Esse).
Negara, dalam hal ini Kejagung, harus cermat dalam berbahasa.