Masalah Sukatani dan polisi

Ketika posisi Polri dipersepsikan buruk mestinya mereka bijak dan hati-hati.

▒ Lama baca 2 menit

Sikap media terhadap kasus duo punk Sukatani — Blogombal.com

Permintaan maaf duo punk Sukatani, disertai pengungkapan diri wajah masing-masing, menimbulkan dugaan bahwa mereka melakukannya karena tekanan.

Sikap media terhadap kasus duo punk Sukatani — Blogombal.com

Mereka tak hanya menurunkan lagu “Bayar Bayar Bayar” dari aneka pelantar tetapi juga menyatakan tak bertanggung jawab terhadap unggahan oleh pihak lain. Hasilnya? Lagu mereka dinyanyikan demonstran Indonesia Gelap.

Sikap media terhadap kasus duo punk Sukatani — Blogombal.com

Mereka adalah vokalis Ovi alias Twister Angel dan vokalis sekaligus gitaris Al alias Alectroguy. Album mereka, Gelap Gempita (2023) makin dikenal. Unggahan di pelantar pengaliran tak dapat direm. Apalagi kata “gelap” bertaut dengan spirit kegundahan dan kegeraman publik: Indonesia Gelap.

Sikap media terhadap kasus duo punk Sukatani — Blogombal.com

Masyarakat protes. Apalagi setelah mereka tahu Novi Citra Indriyati, nama asli Ovi, dipecat dari sekolah tempat dia mengajar kelas empat, yakni SD Islam Terpadu Mutiara Hati, Purwareja Klampok, Banjarnegara, Jateng, pada 6 Februari 2025. Pemecatan ini diprotes kalangan guru.

Alasan kepala sekolah Eti Endarwati, Novi melanggar kode etik guru: “Kode etik yang dilanggar adalah melanggar syariat Islam. Syariat Islam yang dilanggar adalah terbuka auratnya.” (¬ Kompas.id).

Enam polisi Polda Jateng yang mendatangi Sukatani, sehingga akhirnya muncul video permintaan maaf dari band tersebut, sudah diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.

Sikap dan reaksi polisi terhadap lagu “Bayar Bayar Bayar” memang berlebihan. Apalagi persepsi dan opini masyarakat sipil tentang Polri sedang tidak bagus. Hal ini antara lain dimulai sejak Pilpres 2024 yang memunculkan ledekan Parcok (Partai Cokelat) karena polisi ikut bermain.

Lalu ditambah perilaku buruk personel polisi yang melanggar kode etik profesi bahkan hukum, makin buramlah citra Polri, seolah hal baik korps tak perlu diapresiasi karena hal itu adalah kewajiban, sudah default. Ya, serupa anak sekolah tak terlambat masuk: memang sudah semestinya, tak perlu dipuji. Bagi polisi baik hal ini tak adil.

Dalam situasi kondisi macam itu muncul aneka ejekan terhadap polisi — jauh sebelum lagu Sukatani membuat heboh. Bagi polisi rendahan di lapangan, ledekan yang merendahkan inteligensi mereka mungkin menyakitkan: malas baca.

Bagi polisi yang terserang, ejekan itu adalah contoh kecongkakan intelektual kalangan yang beruntung terdidik. Apa ya, polisi tamatan SMA malas membaca buku dan aneka sumber pengetahuan yang memperkaya wawasan, digital maupun kertas? Mereka itu bisa baca tulis sejak SD.

Ketika posisi korps sedang tidak disukai — seolah masyarakat sedang zalim, tak mau tahu ada polisi yang baik — mestinya Polri lebih bijak menganggap serangan masyarakat. Salah langkah hanya menambah masalah. Termasuk menawari Sukatani menjadi duta Polri.

¬ Gambar koran Tribun Jogja dan Jawa Pos dari X, gambar kaset dari Kompas

Menyoroti parcok dan istilah oknum untuk polisi — Blogombal.com

Tinggalkan Balasan