Bolpoin pinjam gratis dan kerewelan kita

Bolpoin gratis di kantor layanan pemerintah menyimpan sepaket komedi.

▒ Lama baca 2 menit

Bolpoin pinjam gratis dan kerewelan kita — Blogombal.com

Dari enam batang bolpoin pinjam gratis di kantor Mal Pelayanan Publik (MPP) Kobek, Jabar, saya melihat gabungan enam tilikan komedis. Apaan tuh?

Pertama: meskipun sudah ada pendaftaran untuk penempahan (booking) daring, bahkan tanda tangan pun di atas layar digital, ternyata fotokopian, cetakan PDF, aneka paket formulir masih diperlukan. Maka ujung-ujungnya adalah orang butuh bolpoin.

Kedua: saya belum tahu adakah standar pemusnahan dokumen di kantor pemerintah. Maksud saya aneka kertas tadi termasuk fotokopian KTP — untuk satu jenis SIM butuh tiga, untuk SIM A dan C butuh enam lembar. Kalaupun ada standar pemusnahan kertas berisi data, apakah dilaksanakan?

Bolpoin pinjam gratis dan kerewelan kita — Blogombal.com

Ketiga: dari enam bolpoin gratis itu yang tiga macet. Salah satunya sudah habis tintanya (lihat foto di bawah ini). Maka pikiran saya mengarah ke kedai yang bagus, sebelum jam buka sudah ada pramusaji yang memeriksa ketersediaan tusuk gigi dan tisu untuk setiap meja. Apakah di kantor pemerintah, hal itu tak dapat dilakukan oleh Mas Opisboi atau siapalah? Di bank yang genah selalu ada pengecekan jumlah formulir, brosur, dan bolpoin.

Bolpoin pinjam gratis dan kerewelan kita — Blogombal.com

Keempat: dulu ketika komputerisasi belum menjadi bagian dari layanan depan pada kantor pemerintah, bolpoin gratis bisa tersedia atas kebaikan hati petugas, meminjamkan alat tulis pribadinya agar urusan lekas beres. Jadi, bukan atas kebijakan lembaga.

Mestinya birokrasi meniru front desk hotel, terserah tamu bawa bolpoin sendiri atau tidak yang pasti petugas siap meminjam lan bolpoin. Memang sih singkat, hanya untuk menandatangani dokumen. Serupa polisi meminjamkan bolpoin kepada terperiksa untuk menandatangani berita acara.

Bolpoin pinjam gratis dan kerewelan kita — Blogombal.com

Kelima: seiring makin meratanya kepemilikan ponsel, dan ketersediaan aneka layangan melalui ponsel, maka makin banyak warga masyarakat saat keluar rumah tak membawa bolpoin. Bahkan berangkat kerja pun tak membawa anak tulis. Itulah beda orang dewasa dari anak berangkat sekolah.

Keenam: dulu, awal abad ini, menulisi kertas dalam acara pameran menjadi peluang untuk pemerasan. Pengunjung betnafsu mengisi kupon berhadiah namun tak membawa bolpoin. Lalu datanglah orang baik hati meminjamkan bolpoin, setelah urusan selesai komplotan itu minta ongkos Rp10.000 bahkan lebih.

Saat itu, dalam sebuah pameran komputer di Balai Sidang Jakarta, saya membagikan bolpoin gratis, bukan meminjamkannya, tak hanya di stan saya melainkan juga berkeliling. Banyak yang menolak, terutama ibu-ibu. Mereka takut kasus di Jakarta Fair terulang: pura-pura meminjamkan bolpoin lalu meminta ongkos tinta.

Untunglah dalam vaksinasi di GBK pada 2021, tak ada orang meminjamkan bolpoin melainkan menjual bolpoin. Dari sisi bisnis, penyedia bolpoin sewaan di Jakarta Fair lebih pintar: punya penerimaan pasif dari alat sepele, bahkan penerimaan pertama jauh melebihi harga bolpoin. Bukankah bisnis kadang punya sisi semprul?

Penjualan bolpoin oleh pengasong saat vaksinasi Covid-19 di GBK 2021 — Blogombal.com

Tinggalkan Balasan