Kuis: Sebutan hari selain kemarin dan esok

Apa pentingnya tahu arti kata selumbari, tulat, tubin, tungging, dan cekelong?

▒ Lama baca < 1 menit

Kuis kata: selumbari, tulat, tubin, tungging, dan cekelong  — Blogombal.com

Video tentang dua siswi ini beredar dari grup ke grup WhatsApp. Saya menduga dari TikTok namun tak ada teraan tanda air platform itu. Ternyata benar, setelah saya cari saya sampai ke sumber asali: akun Hery Setiawan Natsir, seorang guru madrasah alawiyah di Bulukumba, Sulsel, yang menyebut diri “guru spesialis ice breaking, games & fun magic“. Akunnya ada TikTok, Instagram, dan YouTube.

@herysetiawannatsir

Tes Pengetahuan Sebutan Hari❗️❗️MAN 2 BULUKUMBA❗️❗️

♬ suara asli – herysetiawannatsir – herysetiawannatsir

Nah, dari semua jawaban soal kebahasaan dalam kuis itu, kata apa yang sudah Anda ketahui? Sebagian besar belum saya kenal, namun salah satu pertanyaan pernah saya lihat dalam sebuah TTS — dan saya tak dapat menjawabnya.

Tanggapan dalam setiap grup hampir sama, kalau saya sederhanakan adalah sebutan untuk sejumlah hari itu tidak lazim, tak semua orang tahu, sehingga tidak layak digunakan. Dalam istilah ringkas: nggak penting. Yah, soal nasib kata, terutama yang arkais dalam sebuah bahasa, itu tergantung penuturnya.

Tetapi bagi saya kamus tetap layak mencatatnya. Bahwa kamus akan menjadi tambun kata, padahal banyak lema yang sudah tak terpakai, memang itu fungsi kamus: menyimpan khazanah kebudayaan bernama kosakata.

Tentu kalau ada yang menggunakan selumbari, tulat, tubin, tungging, dan cekelong untuk judul lagu, album musik, puisi, novel, nama blog, akun di media sosial, dan jenama kedai kopi, itu baik adanya. Kenapa? Memelihara kata dan memancing rasa ingin tahu.

Misalnya tiada yang tertarik untuk mencari tahu arti sebuah kata yang tak lazim? Minat dan kepentingan setiap orang berbeda. Kalau hal itu terjadi belum tentu tersebab pasal literasi. Itu hanya soal sepele: kalau dirugikan karena tak tahu suatu kata, misalnya dalam pergaulan karena muncul “istilah anyar padahal lawas”, semacam “semenjana”, orang akan mencari tahu. Misalnya dengan menanya orang lain, termasuk secara terbuka via media sosial.

Konten Pak Guru Hery memang menarik. Pekan lalu Gubernur Jabar terpilih, Deddy Mulyadi, mengingatkan para guru agar tak sembarangan membuat video di sekolah, apalagi dengan seragam ASN, kecuali ada hubungannya dengan pendidikan.

Saya setuju. Itu pun dengan tambahan: jangan memperlakukan murid dengan menampilkan wajahnya, karena jejak digital itu panjang. Anda pasti pernah mendapati video anak SD yang salah menjawab pertanyaan guru sehingga videonya menjadi hiburan publik. Banyak contohnya.

Misalnya guru yang mempermalukan murid itu punya anak, dan anaknya mengalami perlakuan yang sama oleh guru lain, belum tentu dia girang apalagi bangga, lalu menyebarluaskannya.

Apakah ini termasuk mempermalukan murid di depan publik — Blogombal.com

Tinggalkan Balasan